
Oleh: Ummu Kinanty
Linimasanews.id—Pemerintah kembali membuka peluang bagi wajib pajak untuk mengikuti program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III di tengah gelombang protes masyarakat yang menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pada 1 Januari 2025.
Hal tersebut diketahui usai Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas RUU ini lewat Rapat Panja Program Legislasi Nasional RUU Prioritas 2025 yang digelar Badan Legislasi DPR pada Senin (18/11/2024) (Dikutip dari kompasiana.com, 19/11/2024).
Program Pengampunan Pajak ini masuk dalam daftar Draf Usulan Prolegnas RUU Prioritas 2025. Di sisi lain, gelombang protes atas rencana kenaikan PPN 12% terus bergulir di media sosial. Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani akan tetap menaikkan PPN 12% ini pada 1 Januari 2025.
Penerapan PPN naik menjadi 12 persen dari sebelumnya 11 persen dianggap sebagai komitmen pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Tujuannya, untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Di tengah daya beli masyarakat yang saat ini masih rapuh, kenaikan PPN dapat dipastikan akan menciptakan ketegangan pada ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Kebijakan tersebut dapat memengaruhi roda ekonomi, seperti daya beli melemah, konsumsi menurun, dan dunia bisnis skala menengah akan berisiko kehilangan pasar.
Secara otomatis, PPN menjadi 12 persen akan membuat hampir semua barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat menjadi lebih mahal. Kenaikan harga tidak dapat dihindari demi menutup biaya produksi dan distribusi. Akibatnya, kelompok masyarakat menengah ke bawah yang paling merasakan dampaknya secara langsung.
Mirisnya, para pengusaha atau konglomerat kelas kakap justru mendapat keringanan pembayaran pajak (tax amnesty). Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengeluarkan aturan yang membebaskan mobil listrik impor dari pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Aturan ini berlaku pada 15 Februari 2024.
Ya, beginilah nasib rakyat dalam negara demokrasi kapitalis. Bebannya sangat berat karena pajak merupakan sumber utama pemasukan negara. Anggaran belanja negara hampir sebagian besar dipenuhi dari pemasukan pajak.
Sungguh malang nasib rakyat, sudahlah rakyat dibebani pajak, belanja negara nyatanya tidak mengenal skala prioritas berpihak kepada rakyat. Pembangunan infrastruktur terus dilakukan di pusat ekonomi, sedangkan di pelosok desa masih banyak yang belum terjangkau oleh pembangunan serupa. Begitu pula, gaji dan fasilitas mewah para pejabat terus saja dinaikkan, sementara banyak guru honorer yang tidak mendapatkan gaji yang layak, sebagian anak di negeri ini pun tidak mampu melanjutkan pendidikannya karena ketiadaan biaya serta harus menjadi tulang punggung keluarganya.
Inilah potret buram negara kapitalis. Rakyat harus menanggung beban besarnya pungutan pajak. Bukankah ini suatu bentuk kezaliman penguasa pada rakyatnya? Seharusnya negara berupaya mengayomi dan menyejahterakan rakyat. Sayang, justru malah sebaliknya, membebani rakyat. Sementara, para pejabat hidup mewah dan bergandengan tangan dengan para pemilik modal (kapital) menikmati hasil bumi dan sumber daya alam negeri ini.
Kondisi seperti ini tidak akan terjadi pada sistem pemerintahan Islam (khilafah). Pajak bukan pungutan wajib bagi rakyatnya. Kalaupun ada, itu pun dilakukan pada saat kas negara sedang kosong sementara kebutuhan mendesak. Maka, pajak sifatnya temporal. Jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi maka pungutan pajak atau dharibah akan dihentikan. Pajak hanya dikenakan pada warga negara yang kaya saja, sementara rakyat yang hidupnya pas-pasan tidak akan dikutip pajak.
Kemudian, dalam hal pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan jembatan atau jalan, jika urgen untuk dibangun, sedangkan Baitulmal kosong, maka negara akan memberlakukan pajak. Namun, jika pembangunan itu tidak urgen, misalnya sudah ada jembatan atau jalan alternatif, maka negara tidak akan memaksakan pembangunan tersebut. Dengan begitu, alokasi anggaran Baitulmal benar-benar tepat sasaran dan menurut skala prioritas yang menjadi kebutuhan masyarakat luas.
Pajak atau dharibah dalam Khilafah bukanlah sumber pemasukan utama, bahkan negara akan sangat jarang menggunakan pajak sebagai sumber pendapatan Baitulmal. Penerimaan Baitulmal yang begitu besar dan banyak berasal dari sumber selain pajak, jika dioptimalkan jumlahnya akan sangat melimpah.
Adapun sumber pemasukan Khilafah berasal dari anfal, ganimah, fai, khumus, kharaz dan jizyah. Lalu dari pengelolaan harta kepemilikan umum, yaitu sumber data alam yang melimpah.
Karenanya, selama masih memakai sistem demokrasi kapitalis, maka kesejahteraan tidak akan pernah terwujud. Sebab, sistem pemerintahan Islam-lah yang terbaik, yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya.