
Oleh: Uswatun Khasanah (Muslimah Brebes)
Linimasanews.id—Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% berlaku mulai 1 Januari 2025. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, penerapan PPN ditingkatkan menjadi 12%. Pemerintah menerapkan kebijakan tersebut untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBB). Namun, kenaikan pajak pertambahan nilai menjadi 12% menjadi bahan perdebatan dan diskusi publik.
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN merupakan pajak atas setiap pertambahan nilai konsumsi suatu barang dan jasa. Nilai tambah suatu barang atau jasa berasal dari akumulasi biaya dan keuntungan dari proses produksi hingga distribusi, termasuk modal, upah, sewa telepon, tagihan listrik dan biaya-biaya lainnya. Pajak pertambahan nilai merupakan salah satu jenis pajak tidak langsung. Artinya konsumen sebagai wajib pajak tidak membayar pajaknya langsung kepada negara, melainkan para pengusaha atau pedagang yang melapor.
Pihak yang wajib membayar PPN adalah konsumen akhir. Sedangkan yang wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN adalah pedagang/penjual. Secara umum tujuan PPN sama dengan pajak lainnya, yaitu untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendanai pengeluaran program-program yang dilaksanakan pemerintah.
“Sudah ada UU, nya kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan. Tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa… bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya,” ucap Sri Mulyani, di Gedung DPR/MPR, mengutip dari laman cnbcindonesia.com, 18 November 2024.
Barang-barang yang dibebaskan dari PPN 12% biasanya merupakan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat yaitu barang kebutuhan pokok. Jenis komoditas tersebut antara lain beras, kedelai, jagung, garam, sagu, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Pasal 4A dan 16B UU HPP juga menyebutkan bahwa makanan dan minuman yang dipasok oleh pelaku usaha katering pada hotel, restoran, rumah makan, warung makan, juga tidak dikenakan PPN. PPN tidak dikenakan atas transaksi mata uang, emas batangan, dan surat berharga (seperti saham dan obligasi) di pasar keuangan.
Sedangkan barang yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 12% adalah barang selain golongan di atas, termasuk beberapa kebutuhan sehari-hari lainnya. Misalnya belanja pakaian, sepatu, peralatan elektronik, perlengkapan mandi dan kebersihan rumah, obat-obatan dan kosmetik yang dijual bebas. Jenis jasa yang dikecualikan dari PPN 12% antara lain jasa kesehatan dan kedokteran, jasa sosial, pendidikan, seni dan hiburan, angkutan umum, keagamaan, keuangan, asuransi, keagamaan, penyiaran (tidak termasuk periklanan) dan jasa ketenagakerjaan.
Ketika PPN mencapai 12%, hampir seluruh barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat menjadi lebih mahal. Oleh karena itu, dampaknya akan langsung dirasakan oleh masyarakat kelas bawah dan menengah yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok. Jika kondisi perekonomian normal, mendukung dan produktif, maka keputusan menaikkan tarif PPN akan baik.
Faktanya, daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya. Jika pajak pertambahan nilai dinaikkan secara paksa, maka akan berdampak pada banyak aspek, mulai dari harga produksi hingga harga barang dan jasa. Jika kenaikan harga dibarengi dengan melemahnya daya beli konsumen, hal ini akan menjadi tantangan bagi pelaku korporasi. Daya beli masyarakat yang lesu menyebabkan penurunan permintaan dan penjualan di berbagai industri belakangan ini.
Kenaikan tarif PPN disebut sebagai salah satu cara meningkatkan penerimaan negara untuk mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan terhadap utang. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak serta merta berarti meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi utang. Pada saat yang sama, yang pasti adalah penderitaan rakyat, apalagi ketika keadaan perekonomian sedang sulit dan daya beli masyarakat berkurang. Ada juga masalah korupsi dan pemerintahan yang suka meminjam uang.
Keadaan tersebut merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan perpajakan sebagai sumber pendapatan negara. Sebaliknya, negara hanya menjadi regulator dan fasilitator, melayani kepentingan pemilik modal
Dalam sistem kapitalis, perpajakan adalah bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan tersebut dinilai dapat membantu negara mencapai stabilitas perekonomian karena menyesuaikan belanja negara berdasarkan penerimaan pajak. Cara sederhana untuk mendapatkan uang baru guna menutup defisit anggaran negara dan membantu membayar utang yang membengkak adalah dengan memanfaatkan pajak sebagai solusi untuk menalangi keuangan negara. Dalam sistem kapitalis, perpajakan merupakan sumber pendapatan negara yang stabil. Negara terus mendorong masyarakat untuk membayar pajak, dan hal ini merupakan hal yang wajar.
Negara-negara yang menganut sistem kapitalisme menggunakan perpajakan sebagai sumber utama pendapatan tunai nasional. Masyarakat juga harus membayar pajak untuk kebutuhan pokoknya, yang seharusnya dijamin oleh negara, namun “dipalak” oleh negara. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya jika kebijakan ini benar-benar diterapkan. Tentu saja harga-harga segala macam kebutuhan masyarakat akan naik, padahal harga saat ini sudah sangat tinggi.
Perpajakan telah menjadi sumber pendapatan utama bagi negara-negara yang menganut kapitalisme. Padahal, negara kita kaya akan sumber daya alam yang jika dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat bagi rakyat. Sebab, sumber daya alam adalah milik publik. Persoalannya, negara salah mengelola sumber daya alamnya yang sudah diserahkan ke asing.
Apa yang terjadi, bukannya membuat hidup orang lebih mudah, malah memaksa orang-orang yang hidupnya kehilangan momentum untuk mengeluarkan lebih banyak uang. Oleh karena itu, jika kebijakan ini diterapkan maka sesungguhnya itu adalah kekejaman penguasa terhadap rakyat.
Perpajakan dalam Islam
Dalam sistem Islam, sumber penerimaan negara yang masuk ke baitulmal adalah 1) fai (anfal, ganimah, khumur), 2) jizyah, 3) kharaj, 4) ‘usyur, 5) harta milik umum yang dilindungi negara, 6) harta haram pejabat dan pegawai negara, 7) khumus rikaz dan pertambangan, 8) harta orang tanpa ahli waris, dan 9) harta orang murtad.
Pajak yang dipungut oleh baitumal sangat berbeda dengan sistem perpajakan saat ini baik dari segi subjek pajak, objek pajak, dan tata cara pemungutannya. Meskipun terdapat kesamaan penggunaan kata “pajak”, hal ini hanya karena sama-sama dipungut oleh negara. Perpajakan dalam sistem Islam disebut dharibah. Hal ini merupakan upaya terakhir jika baitulmal sudah benar-benar kosong dan tidak mampu lagi menunaikan kewajibannya. Dalam hal ini, pajak hanya dikenakan pada umat Islam. Pajak dipungut dari sisa pendapatan (setelah kebutuhan subsisten) dan harta benda orang kaya, yaitu dari sisa yang mencukupi kebutuhan primer dan sekunder mereka.
Pajak dipungut berdasarkan kebutuhan baitulmal dalam memenuhi kewajibannya. Tidak ada pajak yang dapat dipungut melebihi jumlah yang diperlukan. Jika kebutuhan baitulmal terpenuhi dan kewajibannya dipenuhi melalui sumber pendapatan tetap, maka perpajakan harus dihentikan. Perpajakan dalam Islam bersifat sementara dan bukan penghasilan tetap seperti yang kita alami saat ini.
Perbedaan konsep perpajakan pada sistem Islam dan kapitalis sangat kentara. Melihat praktik perpajakan saat ini, terlihat jelas siapa saja yang menjadi korban kezaliman. Apalagi jika rencana kenaikan PPN ini benar-benar dilaksanakan dan berdampak pada kenaikan pajak bangunan, maka fenomena ketidakadilan ini pasti akan makin nyata. Peringatan yang sangat keras telah diberikan kepada para pelaku ketidakadilan ini, namun hal ini tampaknya tidak membuat mereka takut atau jera.
Sudah waktunya untuk melakukan perbaikan sistematis di negara ini. Dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah, maka kebijakan nasional akan berlandaskan hukum syariat sehingga negara tidak kebingungan dalam mencari sumber pendapatan negara. Negara tidak akan mudah menjerat masyarakat dengan pajak. Wallahualam.