
Oleh: Dian Harisah (Aktivis Dakwah Muslimah)
Linimasanews.id—Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah dijadikan pijakan kuat Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk melakukan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebelumnya, tarif PPN ini telah mengalami kenaikan pada April 2022 dari 10% menjadi 11%. Namun, sebagaimana dilansir news.ddtc.co.id (17/11/2024), Menteri Keuangan menargetkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% paling lambat akan diberlakukan pada bulan Januari 2025 mendatang.
Bukan tanpa alasan, kenaikan tarif PPN menjadi 12% ini diklaim pemerintah sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan negara dalam rangka mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang serta menyesuaikan standar international (medcom.id, 19/11/2024). Sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan dalam rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung DPR, Rabu (13/11/2024) alasan kenaikan tarif PPN ini untuk menjaga kesehatan APBN (CNBCIndonesia, 14/11/2024).
Tak ayal, kebijakan ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyampaikan bahwa kenaikan tarif PPN ini berpotensi menurunkan penjualan para pelaku usaha di sektor formal. Padahal, saat ini kondisi usaha sedang mengalami stagnansi penjualan (detik.com, 19/11/2024).
Tak hanya pengusaha, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pun angkat suara. Melalui Presiden KSPI, Said Iqbal menyampaikan keberatan. Menurutnya, kenaikan upah minimum yang mungkin hanya berkisar 1 hingga 3 persen tidak cukup untuk menutup kebutuhan dasar masyarakat (tirto.id, 19/11/2024).
Jika pengusaha saja tercekik dengan kenaikan tarif PPN ini, terlebih lagi rakyat. Sebab, beban berat masyarakat bertambah-tambah. Kenaikan tarif PPN sebesar 12% meniscayakan kenaikan harga barang dan jasa menjadi makin mahal. Hal ini menjadi salah satu faktor yang akan menurunkan daya beli masyarakat. Inilah kepastian yang akan dihadapi rakyat, sementara tidak ada jaminan terhadap kenaikan upah kerja yang akan mereka terima.
Apakah klaim penguasa dengan menaikkan PPN akan menghilangkan ketergantungan utang benar-benar terealisasi? Faktanya belum tentu hal itu akan meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang negara. Sementara, yang pasti adalah kesengsaraan rakyat, terlebih di tengah situasi ekonomi yang sulit. Apalagi, ada problem korupsi dan pemerintah yang gemar berutang.
Solusi
Jika kita cermati, situasi ini adalah konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Tidak hanya kenaikan tarif, ragam tarif pajak pun akan makin variatif. Di sisi lain, dalam sistem kapitalis, negara hanya menjadi regulator dan fasilitator yang melayani kepentingan para pemilik modal. Karenanya, wajar rakyat bukan prioritas dan bukan faktor yang perlu dipertimbangkan penguasa dalam mengambil kebijakan.
Maka, layaklah kita merujuk pada sistem pemerintahan yang benar-benar menyejahterakan rakyat. Islam sebagai sistem pemerintahan yang diwariskan Rasulullah saw., memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi ra’in (mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab).
Tak hanya itu, Islam pun menetapkan berbagai sumber pemasukan negara, salah satunya, dari pengelolaan sumber daya alam yang melimpah. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Pajak hanya menjadi alternatif terakhir ketika kas negara dalam kosong sementara ada kewajiban atas rakyat yang harus ditunaikan. Dalam Islam, pajak pun hanya dipungut dari warga negara Muslim yang kaya saja, bukan dipungut dari seluruh rakyat.