
Oleh: Dewi Noviyanti (Aktivis Dakwah)
Linimasanews.id—Gambaran hebat dan mulianya seorang guru kini hanya ada pada bait lagu saja. Kenyataannya, tugas mulia seorang guru sudah dikebiri. Guru diberikan batasan-batasan dalam menjalankan kewajibannya. Padahal, selain orang tua, peran guru sangat penting bagi kehidupan anak manusia. Selain memberikan ilmu, guru juga berkewajiban untuk membina, mengajarkan adab dan amal kebajikan serta mengenalkan arti kehidupan. Sudah seharusnya kehadiran guru mendapat apresiasi yang sangat tinggi.
Kewajiban guru untuk mengajarkan adab kepada anak didiknya kini menjadi sebuah dilema. Sebab, ketika hukuman diberikan guru kepada murid sebagai bentuk peringatan, kini malah bisa menjadi ancaman balik bagi guru. Seperti melempar boomerang. Begitu mahalnya harga sebuah perlindungan dan jaminan keamanan bagi seorang guru.
Salah satunya, seperti dialami Supriyani yang dilaporkan ke polisi atas tuduhan dugaan menganiaya muridnya yang anak polisi. Anak tersebut mengaku dipukul oleh Supriyani. Tidak terima atas perlakuan guru kepada anaknya, orang tua melaporkan guru honorer yang sudah 16 tahun mengabdi itu ke Polsek Barito (TribunTimur, 8/11/2024).
Di sistem kapitalis ini, kasus seperti Supriyani bukanlah hal baru. Kriminalisasi terhadap guru seolah hal biasa. Tak jarang guru mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Sungguh ironis, guru selalu disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi begitu banyak kasus yang membuat hilang muruah guru saat ini.
Selain itu, tingkat kesejahteraan guru yang sangat rendah menjadi faktor kurang maksimalnya guru dalam melaksanakan tugasnya. Terkadang guru juga harus mencari kerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tinggi, sementara gajinya rendah. Alhasil, banyak guru terjerat pinjol (pinjaman online), bahkan sampai bunuh diri karena tidak memiliki kesanggupan untuk membayar.
Islam Menjamin Kesejahteraan dan Marwah Guru
Guru memiliki peran penting dalam peradaban islam. Mereka sangat dihargai dan diakui keberadaannya atas kontribusinya menyebarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai luhur Islam kepada generasi selanjutnya. Selain itu, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan akhlak dan moral/adab kepada murid. Guru juga harus membimbing muridnya dalam pemahaman agama dan kehidupan spiritual.
Dalam Islam, pendidikan memiliki tujuan utama mewujudkan generasi terdidik yang memiliki kepribadian islami, yakni memiliki aqliyah dan nafsiyah islami, andal dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki adab dan akhlak yang mulia.
Karenanya, guru berhak mendapatkan penghargaan atas kontribusi mereka dalam melestarikan dan mengembangkan pengetahuan. Murid juga diharapkan dapat menghormati dan menghargai guru, sehingga tercipta hubungan guru dan murid yang harmonis. Bahkan, seharusnya para penguasa juga memberikan apresiasi yang tinggi kepada guru, ulama dan cendekiawan sebagai pengakuan terhadap kontribusi mereka dalam bidang pendidikan dan pengetahuan.
Dalam Islam, profesi guru merupakan salah satu pekerjaan yang mulia dan penting sehingga guru berhak untuk mendapatkan fasilitas, jaminan kesejahteraan, dan dukungan finansial yang tinggi, yaitu upah yang layak. Tidak ada istilah guru honorer dalam Islam. Semua sama, tidak ada perbedaan. Dengan begitu, akan terlahir guru-guru yang berkompeten dan profesional, yang mampu melahirkan generasi penerus yang tangguh, beriman, dan bertakwa.
Dukungan finansial yang diberikan untuk memastikan keberlanjutannya pengajaran dan pendidikan. Hal ini pernah dibuktikan pada masa Shalahuddin Al Ayyub, gaji guru yang diberikan berjumlah sangat besar yaitu sekitar 11-40 dinar (sekitar Rp42-153 juta). Terbukti, kehidupan guru sangat terjamin kesejahteraannya pada masa khilafah Islam.
Di sisi lain, dalam Islam, peran orang tua dalam melibatkan diri terhadap proses belajar mengajar antara guru dan anaknya merupakan hal yang penting. Orang tua dalam mencarikan guru bagi anaknya juga memberikan jaminan atas keselamatan guru tersebut, bukan sebaliknya. Hal ini bisa kita lihat kisah dari Sang Penakluk Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih. Sang ayah, Sultan Murad II telah mencarikan dan memilih guru khusus dan terbaik yang bertugas untuk mendidik Muhammad Al Fatih. Ia memilih Ahmad bin Ismail Al-Kurani atau dikenal dengan Al-Kurani. Sultan Murad II membekali pemukul kepada Al-Kurani untuk memukul Al-Fatih jika ia membangkang. Al-Kurani tidak segan memukul dengan pukulan yang keras jika membangkang, hingga Al-Fatih sangat takut terhadap gurunya. Dalam waktu singkat, Al-Fatih dapat menghafal Al-Qur’an hingga akhirnya menjadi Sang Penakluk Konstantinopel.
Hanya dalam Islam, guru dimuliakan. Sementara dalam sistem kapitalis sekuler, guru hanya diposisikan sebagai instrumen pendidikan yang hanya bertugas menghasilkan individu berpengetahuan. Karenanya, sudah saat umat memahami, bahkan menerapkan sistem Islam secara kafah, sehingga perlindungan dan kemuliaan guru tetap terjamin dan terjaga.