
Oleh: Najwa Ummu Irsyad
Linimasanews.id—Listrik merupakan kebutuhan mendasar dalam kehidupan modern. Sebagai salah satu kebutuhan pokok, keberadaannya sangat penting untuk mendukung aktivitas ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kehidupan sehari-hari. Sebagai bagian dari hajat hidup orang banyak, seharusnya penyediaan listrik menjadi tanggung jawab negara. Negara wajib memastikan pemenuhannya secara adil, merata, dan terjangkau.
Sayangnya, hal ini tidak sepenuhnya terealisasi saat ini karena adanya liberalisasi. Liberalisasi tata kelola listrik mengacu pada kebijakan yang membuka sektor kelistrikan bagi swasta dengan orientasi keuntungan. Akibatnya, akses terhadap listrik, terutama di pedesaan dan daerah terpencil, sering kali terabaikan karena biaya penyediaannya dianggap tidak menguntungkan. Model pengelolaan semacam ini menciptakan ketimpangan karena rakyat di daerah terpencil harus menghadapi keterbatasan akses listrik atau membayar tarif yang lebih tinggi. Negara pun seakan lepas tangan, bahkan mengambil keuntungan melalui kebijakan tarif listrik yang membebani rakyat.
Penyediaan listrik di pedesaan sering kali mahal karena beberapa faktor berikut. Pertama, tingginya biaya infrastruktur. Pembangunan infrastruktur listrik di pedesaan, seperti jaringan transmisi, distribusi, dan gardu listrik, memerlukan biaya besar karena jarak antarpemukiman yang jauh. Biaya pembangunan dan perawatannya juga lebih tinggi dibandingkan di wilayah perkotaan yang lebih padat penduduk.
Kedua, minimnya skala ekonomi. Jumlah pelanggan listrik di pedesaan cenderung lebih sedikit dibandingkan di kota. Hal ini menyebabkan perusahaan penyedia listrik tidak dapat mencapai skala ekonomi yang efisien. Akibatnya, biaya operasional yang tinggi dibebankan kepada pelanggan dalam bentuk tarif listrik yang lebih mahal.
Ketiga, keterbatasan akses energi primer. Wilayah pedesaan sering kali jauh dari sumber energi primer, seperti batu bara, gas, atau pembangkit listrik besar. Hal ini membuat penyediaan energi membutuhkan biaya tambahan untuk transportasi bahan bakar atau pembangunan pembangkit listrik kecil (misalnya diesel atau mikrohidro) yang cenderung lebih mahal per kWh dibandingkan pembangkit besar.
Keempat, ketergantungan pada swasta. Dalam sistem tata kelola yang liberal, penyediaan listrik di pedesaan sering kali diserahkan kepada perusahaan swasta. Karena perusahaan swasta berorientasi pada keuntungan, mereka menetapkan tarif yang mencerminkan biaya investasi, operasional, dan margin keuntungan. Akibatnya, tarif listrik di pedesaan menjadi lebih tinggi.
Kelima, subsidi yang tidak merata. Subsidi pemerintah sering kali lebih banyak dialokasikan untuk wilayah perkotaan atau pengguna listrik besar, seperti industri. Wilayah pedesaan yang jumlah konsumennya kecil dan lokasinya jauh, sering kali tidak mendapatkan subsidi yang cukup. Hal ini memperburuk beban biaya bagi masyarakat pedesaan.
Keenam, keterbatasan teknologi alternatif. Penggunaan energi terbarukan, seperti tenaga surya atau mikrohidro seharusnya menjadi solusi untuk wilayah pedesaan. Namun, implementasi teknologi ini membutuhkan investasi awal yang besar dan keterampilan teknis yang masih terbatas di banyak daerah pedesaan mengakibatkan biaya penyediaan listrik tetap tinggi.
Dampak
Masyarakat pedesaan yang umumnya berpenghasilan rendah harus menghadapi tagihan listrik yang lebih tinggi, sehingga daya beli mereka terhadap kebutuhan lain menurun. Ketidakseimbangan akses listrik antara kota dan desa memperparah ketimpangan pembangunan. Selain itu, akses listrik yang mahal atau tidak memadai di pedesaan menghambat perkembangan usaha kecil, pendidikan, dan layanan kesehatan.
Solusi jangka panjang adalah keterlibatan aktif negara dalam penyediaan listrik dengan memprioritaskan wilayah pedesaan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan pembangunan yang merata. Namun, hal ini membutuhkan konsentrasi dari beberapa hal.
Pertama, potensi sumber daya energi Indonesia. Indonesia memiliki kekayaan sumber daya energi yang sangat besar. Indonesia adalah salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia. Sumber daya ini bisa dioptimalkan untuk kebutuhan domestik. Cadangan gas alam Indonesia juga signifikan dan dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Potensi energi terbarukan seperti tenaga surya, hidro, angin, dan panas bumi pun sangat besar. Misalnya, Indonesia memiliki potensi panas bumi hingga 23.965 MW, tetapi pemanfaatannya baru sekitar 2.276 MW (2023).
Jika sumber daya ini dikelola dengan baik oleh negara tanpa campur tangan swasta yang berorientasi pada keuntungan, biaya penyediaan listrik dapat ditekan secara signifikan dan memungkinkan tarif rendah atau bahkan gratis.
Kedua, pengurangan ketergantungan pada energi fosil berorientasi ekspor. Sebagian besar energi primer Indonesia, seperti batu bara dan gas alam, lebih banyak diekspor karena orientasi pendapatan negara. Jika kebijakan diubah untuk memprioritaskan kebutuhan domestik, biaya bahan bakar untuk pembangkit listrik dapat dikurangi. Hal ini akan menurunkan biaya produksi listrik, memungkinkan listrik murah atau gratis bagi masyarakat.
Ketiga, efisiensi dan eliminasi pemborosan anggaran. Listrik gratis mungkin dapat diwujudkan jika pemerintah mengurangi pemborosan anggaran negara di sektor non-prioritas. Selain itu, mengalihkan subsidi energi fosil yang tidak tepat sasaran ke subsidi listrik. Misalnya, subsidi BBM sering kali dinikmati oleh golongan mampu, sementara subsidi listrik dapat langsung menyasar masyarakat luas.
Tidak kalah penting, menekan praktik korupsi dalam proyek infrastruktur energi. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara akibat korupsi di sektor energi dan infrastruktur cukup besar setiap tahun. Jika ini dihentikan, dananya dapat dialokasikan untuk memberikan subsidi penuh pada listrik.
Beberapa contoh negara yang berhasil memberikan listrik murah atau gratis bagi rakyatnya adalah Norwegia yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, seperti hidroelektrik untuk menyediakan listrik dengan harga sangat rendah. Venezuela memberikan subsidi penuh pada listrik karena kekayaan energi fosilnya. Arab Saudi dengan memanfaatkan pendapatan minyak untuk memberikan listrik murah kepada warga negaranya.
Keempat, tantangan yang harus diatasi. Meski memungkinkan, ada tantangan besar untuk menyediakan listrik gratis bagi masyarakat. Di antaranya, investasi infrastruktur, penyediaan listrik gratis membutuhkan jaringan yang merata hingga pelosok, yang memerlukan investasi besar.
Pemerintah juga perlu mencari pengganti pendapatan sektor energi jika sumber daya dialihkan ke kebutuhan domestik. Manajemen energi juga dibutuhkan dalam pengelolaan yang efisien untuk menghindari pemborosan listrik oleh masyarakat ketika gratis.
Kesimpulan
Listrik gratis bagi seluruh rakyat memang memungkinkan, tetapi memerlukan persyaratan. Di antaranya, pertama, pengelolaan sumber daya energi yang sepenuhnya dipegang negara. Kedua, prioritas pada kebutuhan domestik dibandingkan ekspor energi. Ketiga, efisiensi anggaran dan penghapusan korupsi di sektor energi. Keempat, pembangunan infrastruktur listrik yang merata di seluruh wilayah.
Dengan sumber daya yang melimpah, listrik gratis bukan sekadar impian, melainkan visi yang dapat diwujudkan jika pemerintah mengadopsi kebijakan pro-rakyat dan mengelola sumber daya energi secara strategis.
Dalam Islam, sumber daya seperti listrik termasuk dalam kategori kepemilikan umum. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud).
Hadis ini menegaskan bahwa sumber daya yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat tidak boleh dikelola oleh individu atau swasta untuk kepentingan profit semata. Sebaliknya, pengelolaannya harus dilakukan oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan yang murah, bahkan gratis jika memungkinkan.
Islam menempatkan negara sebagai pelayan rakyat yang bertanggung jawab penuh atas kebutuhan pokok, termasuk listrik. Negara harus memastikan ketersediaan infrastruktur yang memadai untuk mendistribusikan listrik secara merata hingga ke pelosok negeri. Pengelolaan ini dilakukan dengan pendekatan yang mengutamakan kemaslahatan rakyat, bukan keuntungan korporasi. Dengan demikian, setiap individu dapat mengakses listrik tanpa terkendala biaya yang tinggi.
Penerapan tata kelola berbasis syariah dalam sektor listrik tidak hanya akan memberikan keadilan, tetapi juga membangun kepercayaan rakyat terhadap negara. Dengan layanan yang berkualitas, terjangkau, dan merata, negara dapat memenuhi kewajibannya sebagai pengurus umat (raain). Hal ini menjadi solusi nyata atas permasalahan kelistrikan yang saat ini cenderung kapitalistik dan tidak berpihak pada rakyat kecil.
Sudah seharusnya kita mendorong perubahan paradigma dalam tata kelola listrik. Negara harus kembali mengambil alih pengelolaan sektor ini dan mengorientasikan kebijakannya untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan keuntungan semata. Hanya dengan demikian, kesejahteraan masyarakat dapat benar-benar terwujud.