
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Kemerosotan moral kian menjadi-jadi. Salah satu sebabnya adalah paparan pornografi. Lebih gilanya lagi, saat ini pornografi tak hanya menyasar orang-orang dewasa, tetapi anak-anak hingga remaja pun sudah terjangkit virus pornografi. Bukan hanya sekadar menikmati, tapi juga menjadi pemeran video porno.
Sungguh ironis, di tengah bergemanya slogan menuju Indonesia Emas, faktanya negeri ini sedang dilanda cemas. Bagaimana tidak, kasus pornografi yang melibatkan anak-anak kembali terkuak. Bareskrim Polri baru saja menangkap 58 tersangka kasus pornografi anak. Penangkapan ini terjadi setelah dilakukan penelusuran sejak bulan Mei hingga November 2024 dan ditemukan sebanyak 47 kasus. Menurut Wakil Direktur Tindak Pidana Siber (Wadirtipidsiber) Dani Kustoni, selain menangkap pelaku, pihaknya juga telah mengajukan pemblokiran situs pornografi online yang jumlahnya mencapai 15.659 situs.
Polri telah menangkap tersangka inisial OS dengan modus operandi melakukan pencarian konten porno, lalu mengunggah dan mengelolanya dalam web yang dia buat secara mandiri. Di dalam barang bukti berupa laptop milik tersangka, ditemukan catatan domain pornografi yang sebelumnya dikelola dan dibuat oleh tersangka sebanyak 585 website pornografi kategori dewasa dan anak, 27 di antaranya masih aktif. Dari website yang dikelola sejak 2015 tersebut, tersangka meraup untung hingga ratusan juta rupiah (Sindonews.com, 13/11/2024).
Selain kasus di atas, baru-baru ini Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Mabes Polri juga membongkar dua kasus eksploitasi anak dan penyebaran konten pornografi melalui telegram. Di antaranya, ada grup telegram bernama “Meguru Sensei” dengan tersangka MS (26) yang ditangkap di Jetis, Kecamatan Grogol Kota, Sukoharjo, Jawa Tengah. Pelaku menjual konten video porno berisikan adegan asusila anak di bawah umur. Video tersebut dia unduh dari berbagai sumber, lalu menggunggah dan menjualnya di Telegram dengan harga Rp50.000-Rp250.000.
Satu kasus lainnya, tersangka berinisial S (24) dan SHP (16) yang melakukan eksploitasi dan penyebaran video porno anak melalui akun Telegram. Mereka ditangkap di Kampung Babakan, Kecamatan Mancak, Kota Serang, Banten. Mereka bahkan membuat dan memerankan video asusila anak di bawah umur. Mereka mencari talent anak di bawah umur untuk beradegan asusila dan merekamnya, lalu menyebarkan melalui grup telegram. Mereka menjanjikan akan memberi telepon genggam bagi anak-anak yang menjadi korban, tapi nyatanya korban hanya diberi uang sebesar Rp200.000 (Sindonews.com, 13/11/2024).
Melihat kasus-kasus di atas, tampaknya kasus pornografi yang melibatkan anak-anak sudah bukan hal baru lagi. Anak-anak yang fitrahnya masih berjiwa polos dan jauh dari pikiran kotor, kini sudah banyak yang terpapar pornografi. Bukan hanya sebagai penonton, pecandu, bahkan juga pelaku, meskipun posisinya sebagai korban eksploitasi anak.
Bagaimana bisa? Di mana para orang tua yang seharusnya menjaga dan mendidik anak mereka? Bagaimana kasus seperti ini bisa terjadi di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Islam dan masih memegang budaya ketimuran?
Inilah dampak dari penerapan sistem yang berorientasi materi, yakni kapitalisme. Ditambah lagi, ide sekularisme sudah merasuk di tengah masyarakat luas. Akibatnya, meskipun mayoritas beragama Islam, ternyata tidak mampu membendung arus modernisasi dan kebebasan yang ditawarkan Barat melalui bermacam propaganda.
Di sistem ini, agama tidak dijadikan sebagai pengatur dalam kehidupan. Agama hanya ditempatkan di rumah-rumah ibadah dan dilaksanakan oleh individu saja. Kebebasan berperilaku untuk memperoleh kesenangan dan apa-apa yang diinginkan seseorang telah dinormalisasi atas nama hak asasi. Manusia tidak lagi memikirkan apakah perbuatannya halal atau haram, yang penting merasa senang dan menguntungkan.
Rusaknya tatanan kehidupan ini akibat lemahnya keimanan dan akidah umat. Suasana kehidupan yang serba materialistik, menuntut setiap orang untuk berlomba-lomba dengan segala upaya memenuhi kebutuhannya, primer maupun sekunder. Ditambah lagi, banyak pengaruh moderasi yang menggerus akidah, dengan mengarahkan umat agar tidak berlebihan dalam beragama. Bertambah kloplah dengan kondisi masyarakat yang malas menuntut ilmu agama, sehingga makin jauh dari pemahaman agama yang benar.
Sangat disayangkan, akibat kerusakan yang tersistem ini, rusak pula tunas-tunas generasi yang seharusnya menjadi tonggak perubahan menuju peradaban yang lebih baik. Siapa yang patut disalahkan? Orang tua tentunya paling berperan karena mereka adalah rumah tempat tumbuh kembang bagi anak, tempat anak mendapatkan keteladanan, pengajaran dan kasih sayang serta perhatian.
Hanya saja, banyak orang tua yang abai untuk menanamkan akidah dan akhlak kepada anak karena fokusnya lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Juga karena kurangnya pemahaman agama. Sedangkan, anak-anak yang mencari jati diri akhirnya terbentuk oleh lingkungan tempatnya bersosialisasi. Dengan jiwa yang masih labil, tentunya mereka akan mudah terpengaruh, mudah tergiur iming-iming barang berharga sehingga melupakan harga dirinya.
Selain itu, sistem sekuler tidak sepenuhnya bisa mencegah dan memberantas hal-hal yang merusak, seperti pornografi. Meskipun berulang kali ada pengungkapan kasus, penangkapan pelaku dan pemblokiran situs, tidak serta merta seluruh aksi pornografi bisa diberangus. Ibaratnya, hilang satu tumbuh seribu.
Karena tidak adanya sistem yang tegas yang bisa menghilangkan penyakit masyarakat ini dari akarnya, pornografi tidak selalu dipandang sebagai masalah. Sebaliknya, dijadikan sebagai peluang bisnis yang menguntungkan bagi individu, bahkan negara. Bila pelaku-pelaku kecil bisa diatasi, pelaku yang bermodal besar pun bisa dilindungi. Sedangkan, negara juga tidak memiliki hukuman yang jelas dan menjerakan bagi pelaku.
Sungguh, generasi penerus ini butuh penjaga yang bisa menjamin keselamatannya dunia dan akhirat. Hanya sistem Islam yang mampu memproteksi generasi dari dasar, yakni dengan penanaman akidah bagi setiap individu. Dengan akidah dan keimanan, umat akan tercegah dari perbuatan tabu dan nista.
Masyarakat yang terbentuk akan jadi pengontrol dengan saling mengingatkan dan beramar makruf nahi mungkar. Ditambah dengan penguasa yang menerapkan hukum Islam dalam setiap sendi kehidupan, bermacam propaganda sesat akan dilarang, pelaku kejahatan dan pelanggaran syariat akan dihukum berat. Dengan Islam, negara akan mengunci rapat pintu-pintu maksiat.