
Oleh: Fatiyah Hasanah, M.Sos.
Linimasanews.id—Maraknya pornografi di era digital menjadi ancaman serius bagi moralitas dan masa depan generasi. Akses mudah terhadap konten pornografi melalui internet, media sosial, dan platform digital lainnya telah menciptakan gelombang kerusakan moral yang sulit dibendung.
Menurut data dari ICT Watch, salah satu risiko yang dihadapi anak-anak akibat dampak negatif internet adalah kemudahan akses informasi yang dapat membuat mereka secara tidak sengaja berulang kali melihat konten pornografi. Selain itu, laporan dari National Center for Missing and Exploited Children tahun 2024 mencatat adanya 5.566.015 kasus konten pornografi anak di Indonesia dalam rentang waktu empat tahun (cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id).
Fenomena hari ini menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja menjadi konsumen terbesar, yang berujung pada berbagai dampak negatif seperti kecanduan, degradasi moral, hingga peningkatan kasus kekerasan seksual (journal.unnes.ac.id).
Di sisi lain, lemahnya regulasi negara dan sistem hukum yang tidak memberikan efek jera membuat industri pornografi tumbuh subur. Hal ini tampak dalam pernyataan, Dirjen Aplikasi Informatika, Kemenkominfo, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (9/10) yang menyatakan bahwa “Dari 28-30 juta web pornografi, kita baru bisa blokir 700 ribu diantaranya” jelas Semuel Abrijani (komdigi.go.id, 26/8/2020). Media yang bebas sering kali memanfaatkan konten pornografi demi meraup keuntungan besar, tanpa peduli dampaknya pada kualitas generasi masa depan.
Akar Masalah dalam Sistem Sekuler
Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari akar masalah yang bersumber pada sistem sekuler. Sistem sekuler memisahkan agama dari kehidupan, sehingga keimanan tidak menjadi landasan utama dalam menentukan perilaku individu. Akibatnya, kebebasan berperilaku yang berorientasi pada materi menjadi hal yang lumrah, tanpa peduli apakah itu bertentangan dengan moral atau tidak.
Hukum dalam sistem sekuler cenderung longgar dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku industri pornografi. Denda ringan atau hukuman minimal tidak cukup untuk menekan laju produksi dan distribusi konten pornografi. Dalam sistem kapitalis, media sering kali mengutamakan keuntungan materi di atas moralitas. Konten pornografi yang menggiurkan secara ekonomi dibiarkan bebas tayang, tanpa mempertimbangkan dampak buruk bagi masyarakat.
Sistem pendidikan dalam sistem sekuler tidak menanamkan ketakwaan sebagai fondasi utama. Akibatnya, generasi muda tumbuh tanpa benteng moral yang kuat, sehingga mudah terpengaruh oleh konten pornografi dan perilaku menyimpang lainnya.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dan langkah antisipasi untuk mengurangi kasus pornografi anak. Namun, hasilnya belum efektif dalam menyelesaikan masalah tersebut. Posisi Indonesia sebagai negara dengan kasus pornografi anak tertinggi keempat di dunia menunjukkan betapa rumitnya persoalan sosial yang dihadapi. Masalah ini tidak bisa diatasi hanya dengan mengedukasi pentingnya pendidikan seks atau sekadar memeriksa kondisi psikologis pelaku.
Upaya semacam itu tidak cukup, mengingat realitas di lapangan menunjukkan bahwa hampir semua kasus pornografi anak dipicu oleh berbagai rangsangan seksual yang mudah dijumpai, baik dalam bentuk tayangan visual, gambar, lukisan, maupun interaksi sosial masyarakat.
Negara tampak setengah hati dalam menangani persoalan ini, entah karena kebingungan menghadapi fenomena yang telah merebak atau khawatir melanggar prinsip kebebasan. Padahal, merebaknya kasus pornografi anak mengancam masa depan generasi mendatang. Diskusi yang muncul sering kali terbentur pada perdebatan mengenai batasan nilai moral di tengah kebebasan yang dianut masyarakat.
Islam Solusi Holistik Pencegahan Pornografi
Islam menawarkan solusi menyeluruh untuk menangani masalah pornografi dengan menanamkan ketakwaan individu, menguatkan kontrol sosial, dan menerapkan aturan negara yang tegas. Islam menawarkan solusi holistik untuk mengatasi masalah ini dengan mekanisme yang melibatkan individu, masyarakat, dan negara.
Dalam ranah individu, hal ini telah diatur dalam syariat Islam yang tertuang dalam QS. An-Nur 30-31, yakni seorang mukmin wajib menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan. Sedangkan dalam ranah negara, pada kasus pornografi yang berkaitan dengan perzinaan, maka akan ditegakkan had zina sebagai sanksi bagi para pelaku. Yaitu bagi ghayru muhsan 100 kali cambuk, sedangkan muhsan berupa hukuman rajam.
Dalam pandangan Islam, akal manusia harus dijaga dari hal-hal yang merusak, termasuk pornografi. Oleh karena itu, aturan menutup aurat, menjaga pandangan, dan membatasi interaksi antara laki-laki dan perempuan diterapkan untuk melindungi masyarakat. Selain itu, sistem pendidikan Islam dirancang untuk membentuk generasi berkepribadian Islam yang memiliki ketakwaan kuat. Pendidikan ini tidak hanya memberikan ilmu, tetapi juga membangun moral dan karakter sehingga generasi muda mampu menolak segala bentuk konten negatif.
Idealnya negara memiliki peran penting dalam menyediakan keamanan digital yang dapat melindungi masyarakat dari konten yang merusak. Regulasi dalam syariat Islam, negara berperan dengan memblokir konten negatif dan memastikan media berfungsi sebagai alat dakwah yang mendukung nilai-nilai Islam. Dengan penerapan sistem Islam, masyarakat dapat hidup dalam suasana yang mendukung ketakwaan, sehingga mampu menjaga moralitas dan akhlak generasi.
Pornografi bukan hanya persoalan individu, melainkan cerminan dari kegagalan sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Islam menawarkan solusi menyeluruh dengan mengatur kehidupan berdasarkan aturan Allah, melindungi akal dan moral masyarakat, serta membentuk generasi yang bertakwa. Sudah saatnya masyarakat hari ini kembali kepada Islam untuk menciptakan masyarakat yang bermoral dan berkualitas, sekaligus mewujudkan rahmatan lil alamin.