
Oleh. Riana Agustin (Aktivis Muslimah Bogor)
Linimasanews.id—Badan Pusat Statistik merilis hasil survei standar hidup layak orang Indonesia pada tahun 2024 sebesar Rp1,02 juta per bulan (Tempo.co.id, 22/11/24). Tentu saja hal ini menuai banyak kritik. Salah satunya, dari kalangan Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) yang mempertanyakan istilah “standar hidup layak” yang diklaim oleh BPS yang berpotensi disamakan dengan komponen hidup layak (KHL).
Padahal, angka standar hidup layak tersebut bisa berpengaruh pada upah minimum pegawai karena menjadi acuan kelayakan hidup masyarakat. Selain itu, standar hidup layak versi BPS bisa mengelabui jumlah orang miskin yang sebenarnya.
Terlihat kezaliman negara dari batasan standar hidup layak Rp1,02 juta per bulan yang tidak bisa mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Terkesan negara ingin “memukul rata” kesejahteraan hidup masyarakat. Padahal, kenyataan di lapangan, jumlah minimal biaya hidup yang diklaim oleh BPS tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup saat ini. Sebab, biaya pendidikan tidak murah, bahan pangan selalu fluktuatif turun naik, biaya kesehatan tidak murah dan tidak mudah untuk diakses masyarakat. Belum lagi, banyak pengangguran karena susahnya mendapatkan pekerjaan yang layak.
Karenanya, tampak negara abai karena membiarkan masyarakat hidup dalam keterbatasan dan kekurangan. Banyak masyarakat yang saat ini hanya bertahan sebatas bisa makan dan tidur di tempat yang layak. Selain itu, banyak masyarakat yang masih kelaparan. Ini bukti nyata tidak negara gagal mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Berlepasnya negara dalam hal ini karena penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Dengan sistem ini negara menjadikan standar hidup layak bersifat kolektif dan menyamarkan keberadaan individu miskin di tengah masyarakat. Selain itu, penerimaan pendapatan negara dari pajak dan utang lebih diprioritaskan untuk proyek pembangunan infrastruktur untuk memudahkan kepentingan para kapital, bukan untuk kepentingan masyarakat.
Sedangkan dalam sistem ekonomi Islam, negara sebagai pengurus dan pelayan rakyat harus memastikan terpenuhinya kebutuhan hidup individu per individu masyarakat. Islam menetapkan kebutuhan dasar rakyat tersebut meliputi sandang, pangan, papan, layanan kesehatan, layanan pendidikan, dan keamanan. Semuanya menjadi tanggung jawab negara. Dengan demikian, terwujud kesejahteraan hidup yang hakiki bagi masyarakat.
Pengelolaan pendapatan yang dilakukan oleh Baitul Mal (badan pengelola keuangan dalam sistem Islam) bersumber dari banyak pos. Seperti zakat, Fa’i, harta ghanimah, harta kharaj, harta temuan (rikaz), dan masih banyak yang lain. Harta tersebut bisa dikelola untuk menunjang kebutuhan masyarakat dan negara. Mekanisme ini tidak seperti sistem ekonomi kapitalisme yang hanya mengandalkan pada pajak dan utang.