
Oleh: Fatihah Hasanah, M.Sos.
Linimasanews.id—Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan standar hidup layak di Indonesia yang direpresentasikan dengan pengeluaran riil per kapita per tahun yang disesuaikan mengalami kenaikan pada tahun 2024. Masyarakat kini membutuhkan rata-rata Rp1,02 juta per bulan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, meningkat hampir setengah juta rupiah dibandingkan tahun sebelumnya (CNNIndonesia.com, 18/11/2024).
Namun, jika kita melihat kondisi riil di lapangan, banyak masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan pendapatan sebesar itu, sementara kenaikan harga bahan pokok, biaya hidup yang makin mahal, dan upah minimum yang stagnan, ini bukan standar hidup layak, tetapi standar “urip rekoso”.
Kelemahan sistem ekonomi kapitalis (sebagaimana diterapkan saat ini), berorientasi pada keuntungan individu cenderung sehingga mengabaikan kesejahteraan masyarakat banyak. Ketimpangan sosial yang makin lebar menjadi bukti nyata kegagalan sistem ini dalam menjamin kehidupan yang layak bagi semua.
Penggunaan pendapatan per kapita sebagai indikator kesejahteraan sering kali menyesatkan. Ukuran yang lebih relevan adalah kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Penggunaan pendapatan per kapita sebagai ukuran kesejahteraan dalam sistem kapitalis telah menyamarkan masalah kemiskinan. Indikator ini hanya memberikan gambaran rata-rata yang tidak mencerminkan distribusi pendapatan yang tidak merata. Akibatnya, standard hidup layak (SHL) yang ditetapkan tidak realistis dan tidak mewakili kebutuhan kelompok masyarakat yang lebih rentan.
Dengan mengandalkan pendapatan per kapita, sistem kapitalis seolah-olah menciptakan ilusi kesejahteraan yang merata. Padahal, dalam kenyataannya, terdapat kesenjangan yang sangat besar antara kelompok kaya dan miskin. Akibatnya, kebutuhan kelompok miskin sering kali terabaikan dalam penetapan standar hidup layak.
Pengukuran kesejahteraan semata-mata berdasarkan pendapatan per kapita ini merupakan pendekatan yang terlalu sempit dan tidak mewakili kondisi riil masyarakat. Indikator ini gagal menangkap kompleksitas masalah kemiskinan dan ketidaksetaraan yang ada. Angka rata-rata yang tinggi telah menutupi fakta bahwa sebagian besar pendapatan nasional terkonsentrasi di tangan segelintir orang kaya.
Akibatnya, kebijakan pemerintah yang didasarkan pada data yang salah ini justru memperparah kesenjangan sosial dan menghambat upaya pengentasan kemiskinan. Negara dalam sistem kapitalis cenderung pasif dalam mengatur perekonomian. Akibatnya, pasar bebas seringkali menguntungkan segelintir kelompok dan merugikan masyarakat banyak.
Keadilan Ekonomi dalam Perspektif Islam
Islam menawarkan konsep kesejahteraan yang jauh lebih komprehensif. Beberapa prinsip dasar ekonomi Islam yang relevan dengan permasalahan ini adalah keadilan sosial. Islam sangat menekankan pentingnya keadilan.
Dalam Islam, negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (primer) masyarakat, yaitu kebutuhan primer bagi tiap-tiap individu (sandang, pangan, dan papan) dan kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan (keamanan, kesehatan, dan pendidikan). Dalilnya adalah, “Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang makruf.” (QS Al-Baqarah [2]: 233).
Juga dalam ayat, “Tempatkanlah mereka di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (QS Ath-Thalaq [65]: 6).
Di samping itu, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa pada pagi dalam kondisi aman jiwanya, sehat badannya, dan punya bahan makanan cukup pada hari itu, seolah-olah dunia telah dikumpulkan untuknya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Islam memandang tiap individu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Karenanya, Islam mengatur kekayaan Ada yang terkategori kepemilikan umum. Dalam Hal ini, sumber daya alam merupakan milik bersama yang harus dikelola secara adil dan berkelanjutan untuk kepentingan seluruh umat manusia.
Selain itu, instrumen syariat lain, seperti perintah zakat dan infak juga berperan penting dalam mengurangi kesenjangan sosial dan membantu mereka yang membutuhkan. Hal ini karena Islam menempatkan negara sebagai penanggung jawab utama kesejahteraan rakyat.
Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar setiap individu, mulai dari sandang, pangan, dan papan hingga keamanan dan kesehatan. Konsep ini didukung oleh Al-Qur’an dan hadis. Untuk mewujudkan tujuan ini, Islam menawarkan sistem ekonomi yang mengatur kepemilikan harta secara adil dan memastikan distribusi yang merata.
Tidak hanya tercermin dalam ranah individu dan lingkungan, konsep bernegara menurut perspektif Islam memiliki peran yang sangat aktif dalam mengatur perekonomian dan memastikan kesejahteraan rakyat. Karena itu, menurut pandangan Islam, angka Rp 1,02 juta sebagai standar hidup layak hanyalah ilusi dapat mewujudkan sistem yang adil.
Islam menawarkan solusi yang lebih komprehensif untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh umat. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi Islam, umat dapat membangun masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.