
Oleh: Nining Ummu Hanif
Linimasanews.id—Rumah adalah kebutuhan dasar manusia, selain sandang dan pangan. Rumah berfungsi sebagai tempat tinggal sekaligus sarana untuk membina keluarga. Kepemilikan rumah bukan hanya menggambarkan status ekonomi, tetapi juga bisa menjadi bagian dari solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, rumah menjadi hak dasar yang harus dipenuhi sesuai kriteria standar agar layak untuk dihuni. Rumah yang layak huni adalah yang memenuhi kriteria seperti ketahanan bangunannya baik, luasnya bisa menampung seluruh anggota keluarga, dan memiliki sanitasi,air minum, pencahayaan, dan sirkulasi udara yg baik. Namun ternyata, tidak semua masyarakat memiliki rumah yang layak huni.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) proporsi yang punya rumah layak huni tahun 2021 mencapai angka 81,08%. Tapi, dari persentase ini 39%-nya tidak layak huni. Sementara itu, Ketua Satgas Perumahan Hashim Djojohadikusumo mengatakan bahwa hampir 11 juta keluarga yang antre mendapat rumah layak dan sebanyak 27 juta keluarga tinggal di rumah yang tidak layak huni. Selanjutnya menurut Hasyim, rumah yang tidak layak huni memiliki tingkat kesehatan yang rendah dan rawan menyebabkan stunting. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah Prabowo Subianto yang akan menggulirkan program pembangunan 3 juta rumah layak huni per tahun sekaligus memberantas stunting (detikfinance, 4/12/2024).
Pemerintah akan menyiapkan insentif sektor perumahan yang diyakini bisa mengakselerasi industri perumahan di Indonesia. Melalui Kementerian BUMN, pemerintah merencanakan cicilan rumah sangat ringan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan skema kredit jangka panjang dengan tenor 30 tahun. Jika ditelisik lebih dalam, rakyat sulit mendapatkan rumah karena harga lahan dan bahan bangunan yang semakin mahal sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari saja sudah kesulitan.
Semua itu disebabkan tata kelola perumahan diserahkan kepada swasta. Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator yang melayani kebutuhan swasta/pengusaha. Pemerintahlah yang memberi kemudahan perizinan membangun properti tanpa mengindahkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan.
Perumahan yang merupakan kebutuhan dasar dikomersilkan oleh swasta, akibatnya harga rumah jadi sangat mahal. Sedangkan untuk membangun rumah sendiripun sudah sangat sulit karena lahan-lahan yang strategis sudah dikuasai oleh swasta. Semua masalah ini bermula karena penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang melahirkan penguasa dengan gaya kepemimpinan populis otoriter yang penuh pencitraan.
Mereka seolah-olah melayani kepentingan rakyat, namun sejatinya melayani kepentingan oligarki dan swasta dengan mengkomersilkan berbagai layanan publik. Pemerintah kehilangan fungsinya meriayah rakyat dan ini adalah keniscayaan dalam penerapan sistem demokrasi kapitalis.
Berbeda halnya jika negara menganut sistem Islam. Negara sangat bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Pemerintah bukan berposisi sebagai regulator, melainkan peri’ayah/raa’in (pelayan) dan penanggung jawab atas urusan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam akan menerapkan politik ekonomi Islam yang menjamin terpenuhinya kebutuhan primer (termasuk rumah) pada tiap-tiap individu secara menyeluruh dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya. Pemanfaatan harta milik umum secara langsung maupun tidak langsung akan memudahkan seseorang memiliki rumah. Tentu saja negara harus mengatur dan mengontrol pemanfaatannya agar tidak terjadi kerusakan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Harta milik umum adalah harta yang ditetapkan oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) sebagai milik bersama kaum muslim misalnya sumber air, padang rumput (hutan) dan hasil tambang.
Selain itu pemimpin dalam Islam/khalifah akan membuat berbagai regulasi yang memudahkan rakyat memiliki rumah, misalnya larangan menelantarkan tanah, mekanisme penerapan ihya (menghidupkan tanah mati), tahjir (memagari tanah), dan iqtha’ (pemberian tanah oleh negara kepada individu) yang diatur agar tidak terjadi persengketaan di masyarakat. Demikianlah tata kelola perumahan dalam Islam yang memungkinkan rakyat tidak hanya sekadar memiliki rumah, tetapi juga bisa mendapatkan rumah yang layak huni. Wallahualam bishowab.