
Oleh: Desi Dian S., S.Ikom.
Linimasanews.id—Miris adalah kata yang tepat untuk menggambarkan peristiwa kasus main hakim sendiri yang menimpa seorang anak di bawah umur berinisial KM (12), warga Banyusri, Kecamatan Wonosegoro. Korban dianiaya oleh tetangganya sendiri setelah dituduh mencuri celana dalam. Aksi brutal tersebut dilakukan oleh Pak RT dan 14 warga mengakibatkan KM menderita luka serius di sekujur tubuh. Hasil pemeriksaan medis menunjukkan, korban mengalami patah tulang hidung, penyumbatan pembuluh darah di kepala, retak kecil di tulang kepala, dan trauma fisik serta psikologis mendalam.
Bahkan korban dan ayahnya sempat diintimidasi agar tidak melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwajib termasuk juga korban dilarang dibawa ke rumah sakit. Namun demikian, dikarenakan kondisi KM yang makin memburuk memaksa keluarga untuk membawanya ke fasilitas kesehatan pada tanggal 19 November 2024 lalu (karanganyarnews.pikiran-rakyat.com, 13/12/2024).
Buah dari Sekularisme
Main hakim sendiri kerap terjadi akibat munculnya informasi hoax yang diterima mentah-mentah oleh masyarakat. Selain itu, ada beberapa alasan yang membuat masyarakat main hakim sendiri yakni ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan, ketidakmampuan sistem peradilan dalam menyelesaikan perkara, munculnya rasa balas dendam dan kehilangan kepercayaan pada hukum dan kekerasan struktural dan ketidakadilan sosial.
Walaupun sudah diatur dan dapat dikenai sanksi pidana berat sesuai Pasal 170 KUHP tentang Kekerasan di Depan Umum, hal ini tak membuat masyarakat gentar dari perbuatan main hakim sendiri. Main hakim sendiri memang bukan hal baru di masyarakat. Apalagi dalam sistem kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat tingkat stres masyarakat terus meningkat hingga menghilangkan naluri kasih sayang mereka, bahkan sampai melakukan tindakan sadis.
Selain itu, arus informasi tentang berbagai perilaku menyimpang maupun perilaku flexing sebagian kalangan, memicu masyarakat overthinking, dan merasakan kecemburuan sosial yang meningkat, bahkan hingga depresi. Maka, konflik ekonomi ataupun perselisihan yang terjadi ditengah masyarakat menyulut terjadinya tindak kriminal.
Islam tidak Mengenal Main Hakim Sendiri
Main hakim sendiri merupakan perbuatan keji yang sungguh dilarang dalam ajaran Islam. Sebagaimana firman Allah, “Allah memerintahkan berbuat adil, mengerjakan amal kebaikan, bermurah hati kepada kerabat, dan Ia melarang melakukan perbuatan keji, munkar dan kekejaman. Ia mengajarkan kepadamu supaya menjadi pengertian bagimu.” (QS. An-Nahl: 90)
Selain itu, Islam juga memiliki aturan yang jelas tentang amarah. Marah bukan hanya boleh, bahkan harus saat kehormatan Allah Swt. dan Rasul-Nya dilanggar. Sebaliknya, marah justru dilarang jika didorong oleh sentimen etnis, kelompok, golongan, atau kebangsaan (’ashabiyah) karena semua itu hanya bersumber dari hawa nafsu dan setan. Rasulullah bersabda, “Orang yang kuat bukanlah dengan bergulat, namun orang yang kuat itu adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR Bukhari)
Abu Darda ra. pernah menuturkan bahwa pernah ada seorang berkata kepada Nabi ﷺ, “Nasihatilah saya.” Rasulullah bersabda “Jangan marah”. Orang itu mengulangi permintaannya, Rasul ﷺ pun mengulang sabdanya, “Jangan marah!” (HR Bukhari)
Sikap marah mengantarkan seseorang untuk melakukan banyak keburukan, cacian, umpatan, kata-kata kotor, pemukulan, perusakan fasilitas umum, hingga melakukan tindak pembunuhan. Karena itu, hindarilah marah sebagaimana ajaran Rasulullah ﷺ, jadilah pemaaf dan berkasih-sayang terhadap sesama. Ini akan menghindarkan seseorang dari banyak keburukan dan kejahatan.
Solusi Komprehensif
Sempitnya hidup, rusaknya tatanan masyarakat, hingga sulitnya mengakses kesehatan dan pendidikan membuat masyarakat berada dalam kondisi terpuruk dan mudah terpancing pada isu sosial yang belum jelas kebenarannya. Jaminan pemenuhan kebutuhan dasar manusia secara layak adalah langkah awal agar masyarakat mendapatkan ketenangan hidup. Lapangan pekerjaan yang cukup, jaminan pemenuhan rasa aman dan tersedianya fasilitas kehidupan secara murah dan memadai adalah kuncinya. Namun, semua itu hanya akan terjadi ketika menjadikan Islam sebagai asas dalam politik pemerintahannya, negara akan hadir sebagai raa’in (pengatur-red.) terhadap urusan umat.
Berbeda dengan sistem politik demokrasi yang saat ini diterapkan, mereka jelas memberikan keleluasaan kepada oligarki untuk menggenggam aset negara dan kekayaan alam. Akibatnya, terjadi monopoli kekayaan pada segelintir orang, kesenjangan kaya miskin makin parah, dan sulitnya pemenuhan kebutuhan hidup. Adapun tugas negara dalam sistem Islam akan memastikan institusi pendidikan dan media informasi mampu mengarahkan cara berpikir umat dengan benar, yakni menjadikan kehidupan semata-mata ladang amal bagi kehidupan akhirat yang kekal kelak.
Sebab, manusia adalah hamba Allah yang diciptakan untuk mengatur bumi ini dengan syariat Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban atas pengaturan mereka. Ketakutan mereka semata-mata adalah kepada Allah apabila sampai melanggar syariat-Nya. Hanya Islam yang mampu membentuk mentalitas kuat tanpa depresi akibat kesulitan hidup yang kini banyak melanda. Oleh karena itu, saatnya penerapan syariat kaffah diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat yang akan mewujudkan perisai hakiki umat, yakni Khilafah Islamiyah.