
Oleh: Resti Ummu Faeyza
Linimasanews.id—Pelaksanaan pilkada serentak menyisakan berbagai cerita. Di antaranya terkait dengan tingginya angka golput alias golongan putih. Sebagai contoh, Kota Bogor memiliki angka golput yang melebihi jumlah suara dari calon walikota terpilih. Suara golput (masyarakat yang tidak menyalurkan suaranya pada Pilkada Kota Bogor) angkanya tinggi mencapai 291.024 suara. Sedangkan, jumlah partisipasi pemilih mencapai 524.225 suara dari jumlah DPT sebanyak 815.249 orang atau 64,3 persen (rmoljabar.id, 4/12).
Bahkan pada hari pelaksanaan pilkada, ketua KPU Kota Bogor, M. Habibi Zainal Abidin mengatakan bahwa KPU Kota Bogor bekerja sama dengan Pemkot telah berusaha dengan memberikan instruksi agar setiap wilayah melakukan syiar dan ajakan untuk ke TPS melalui pengeras suara masjid-masjid. Namun, hasilnya tetap tidak signifikan.
Ada 2 alasan yang dijelaskan oleh Ketua KPU Kota Bogor. Adapun faktor pertama, adanya faktor-faktor administratif yang membuat sejumlah warga tidak dapat menggunakan hak pilih seperti pemilih yang meninggal dunia ataupun tidak dikenali. Kedua, adanya faktor jenuh dari masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang merasa bosan dengan para pemimpin yang mereka pilih selama ini. Berkali-kali memilih, namun tak ada satupun pemimpin dan wakil rakyat yang bisa menyelesaikan permasalahan di Kota Bogor khususnya.
Akar permasalahan yang membuat kacaunya sistem kehidupan masyarakat saat ini bertumpu pada diterapkannya aturan kapitalisme liberal, sehingga masalah pendidikan, kemiskinan, kesehatan, pengangguran, juga masalah transportasi hingga hari ini tak kunjung usai. Belum lagi komersialisasi kebutuhan masyarakat masih terjadi dikalangan penguasa. Hal tersebut terjadi karena ciri khas dari pemerintahan yang mengadopsi kapitalisme memang hanya akan mementingkan keuntungan bagi dirinya sendiri dan kelompok tertentu (pengusaha). Sehingga, kepengurusan rakyat hanyalah omong kosong.
Bercermin dari kondisi masyarakat yang sudah mulai jera dengan semua janji-janji para pemimpinnya ini, semestinya kita semua sadar bahwa saat ini siapa pun yang menjabat sebagai penguasa maupun wakil rakyat, tidak akan mengubah kondisi yang rumit ini kepada kesejahteraan masyarakat. Semua ini haruslah diubah secara sistematis.
Sementara itu, sejarah mencatat, kepemimpinan masyarakat dalam sistem dan ideologi Islam, mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Karena dalam Islam, setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat.
Dalam Al-Qur’an surah Ash-Shoffat ayat 22-24, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Kepada para malaikat diperintahkan) “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembah-sembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah. Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka di tempat perhentian karena mereka sesungguhnya mereka akan ditanya (diminta pertanggungjawaban).”
Bahkan Khalifah Umar bin Khattab dalam sebuah riwayat, beliau Radhiyallahu Anhu mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat nanti dengan kata-katanya yang terkenal, “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya, seraya ditanya, mengapa tidak meratakan jalan untuknya …? ”
Penguasa dalam sistem kapitalisme-liberal hanya takut kepada para pemilik modal, takut kepada manusia, dan mengabaikan syariat atas kepentingan dirinya sendiri. Sungguh, sangat berbeda jauh dengan kepemimpinan di bawah naungan syariat Islam. Pemimpin di bawah aturan Islam justru akan senantiasa menghadirkan rasa takut kepada Allah, Sang Pencipta. Oleh karena itu, dalam kepemimpinannya, penguasa akan berlaku hati-hati dan berusaha dalam memenuhi segala bentuk kebutuhan dan menyelesaikan segala permasalahan rakyatnya.
Kini, pilihan ada di tangan kita. Apakan kita akan bertahan dengan sistem kapitalisme-liberal ataukah kita bersama-sama mewujudkan kembali sejarah kebesaran Islam yang telah melahirkan masyarakat yang adil dan taat hanya kepada hukum-hukum Allah saja? Wallahualam bishshawwab.