
Suara Pembaca
Papua adalah wilayah paling timur Indonesia yang terkenal dengan keindahan dan kekayaan alamnya. Flora dan fauna langka seperti burung mambruk dan anggrek hitam bisa dijumpai di sana. Tanahnya kaya akan emas karena banyaknya daerah pegunungan sebagai hasil subduksi lempeng Benua Indo-Australia dan Samudra Pasifik-Caroline. Bahkan, tambang emas yang dikelola PT Freeport bisa menghasilkan 240 kilogram emas setiap harinya. Dengan jumlah kekayaan yang melimpah ini, bukan hal yang aneh jika Papua menjadi salah satu wilayah yang mapan di Indonesia.
Sayangnya, kemapanan itu tidak terwujud. Papua justru masuk dalam wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Bukan hanya itu, baru-baru ini dalam forum FGD-nya, BRIN mengungkapkan bahwa sebagian besar daerah Papua berstatus rentan dalam ketahanan pangan (11/12). Berdasarkan data, ketahanan pangan Papua masuk kategori zona merah. Dampaknya, bencana kelaparan sering melanda Papua.
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang lain untuk menyelesaikan permasalahan ini, tetapi hasil belum juga terlihat. Rencananya, dalam masa pemerintahan Prabowo Subianto, dana sebesar 15 triliun untuk membangun lumbung nasional, daerah, dan desa. Pemerintah yang menyatakan komitmennya untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia bukan hal yang baru lagi. Bahkan, di periode yang lalu, proyek ini masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN). Akan tetapi, bukannya menyejahterakan rakyat, proyek ini sering berakhir gagal. Bisa dikatakan, pemerintah seolah-olah tidak belajar dari kesalahan yang pernah terjadi sebelumnya.
Gagalnya pemerintah mengatasi ketimpangan akses pangan menandakan adanya kesalahan pada tata kelola yang digunakan negara dalam menjamin kebutuhan pangan rakyatnya. Kegagalan ini dilatarbelakangi oleh kebijakan pemerintah yang memberikan proyek pengelolaan SDA kepada pihak korporasi. Kekayaan SDA Papua tidak bisa dirasakan secara langsung oleh rakyatnya karena sebagian besar lahan dimiliki pihak korporasi. Bahkan, pihak korporasi memiliki hak untuk mengatur produksi hingga distribusi pangan. Alhasil, rakyat makin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangannya akibat mahalnya harga pangan.
Jika realitanya seperti ini, maka bisa dikatakan bahwa negara abai terhadap tanggung jawabnya untuk menjamin ketersediaan pangan setiap individu. Pemerintah seolah-olah baru bergerak ketika bencana kelaparan sudah terjadi, seperti apa yang sedang terjadi di Asmat saat ini. Dengan demikian, ketika pemerintah tetap menggunakan sistem kapitalisme yang menghalalkan proyek negara kepada pihak korporasi, bisa dipastikan bencana kelaparan akan terasa seperti lingkaran setan yang sulit diatasi.
Berbeda dengan kapitalisme, sistem Islam mengharuskan pengelolaan dan pengembangan SDA dilakukan oleh negara. Urusan ketahanan pangan dan kesejahteraan rakyat menjadi tanggung jawab mutlak yang harus diatur oleh penguasa. Sebab, dalam sistem negara Islam, pemimpin berfungsi sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR. Ahmad, Bukhari).
Dalam Negara Islam, pemerintah juga bisa memberikan teknologi pertanian terbarukan, bibit unggul, pupuk, dan berbagai kebutuhan pertanian lain kepada para petani tanpa menuntut pengembalian dana. Bahkan, negara Islam bisa dengan leluasa memberikan lahan kosong untuk dikelola oleh rakyatnya. Dana yang digunakan nanti akan bersumber pada Baitul Maal (kas negara) bagian pos kepemilikan negara. Semua ini dilakukan pemerintah semata-mata untuk kesejahteraan rakyatnya, bukan untuk kepentingan segelintir pihak oligarki yang perlu disenangkan hatinya, maupun kepentingan pribadi penguasa itu sendiri.
Kesejahteraan di Papua akan terwujud jika pengaturan urusan rakyat dikembalikan pada Islam. Dengan sistem Islam, kekayaan alam yang dimiliki Papua diposisikan sebagai harta milik umum dan dikelola untuk kepentingan rakyat. Dengan segenap kekayaan tersebut, bukan hanya Papua yang sejahtera, bahkan bisa berguna untuk menghidupi rakyat seluruh Indonesia. Lagi dan lagi, bisa dipastikan hanya tata kelola Islam di bawah naungan Khilafah yang mampu memberikan solusi tepat bagi permasalahan ketahanan pangan. Oleh karena itu, sudah saatnya rakyat tersadarkan dan melanjutkan kembali kehidupan Islam di muka bumi ini.
Adeeva Dzakiya
(Aktivis Muslimah)