
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru), beragam persiapan dilakukan di seluruh wilayah. Suka cita dan kegembiraan pastinya dirasakan oleh umat Nasrani dan Katolik yang merayakan. Pemerintah mulai dari pusat hingga daerah juga turut mendukung dengan menjamin terciptanya suasana aman dan kondusif agar perayaan hari besar keagamaan tersebut berjalan lancar.
Salah satunya, mengimbau agar masyarakat lebih menguatkan toleransi dan kerukunan beragama menjelang Nataru. Hal itu disampaikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar. Ia mengajak seluruh masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antarumat beragama, memelihara hubungan baik sebagai warga bangsa yang hidup dalam keberagaman.
Menurutnya, kerukunan di tengah keberagaman adalah bukti kebesaran dan martabat bangsa. Oleh karenanya, menjaga toleransi adalah bagian penting dari identitas bangsa Indonesia. Pemerintah juga telah menetapkan, melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri bahwa pada tanggal 26 Desember 2024 menjadi hari cuti bersama Natal, dan tidak ada libur nasional tambahan hingga pergantian tahun (JawaPos.com, 15/12/2024).
Menjaga toleransi beragama di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk memang sangat penting dilakukan. Sikap toleransi harus diajarkan kepada setiap individu sejak dini agar ketika berbaur dengan lingkungan yang penuh keberagaman, baik agama, suku, adat istiadat dan juga kesukaan, semua bisa saling menghormati. Toleransi adalah sikap menghargai dan menghormati perbedaan, baik dalam pendapat, keyakinan, dan perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.
Dewasa ini toleransi beragama lebih sering diperhatikan dan disebarluaskan ke tengah masyarakat, terlebih saat perayaan hari-hari besar keagamaan. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan memang sudah seharusnya bertanggung jawab menjaga persatuan dan keharmonisan masyarakat yang berbeda-beda keyakinan agamanya. Sikap pemerintah selain tegas juga harus lugas, tidak boleh memaksakan toleransi dengan makna yang disimpulkan sendiri.
Misalnya saja, sebagai bentuk toleransi setiap umat beragama harus saling mengucapkan selamat hari raya pada perayaan agama lain. Sementara dalam ajaran agama Islam, hal tersebut diharamkan. Bagaimana cara bertoleransi harus disesuaikan pada cara dan ajaran agama masing-masing. Yang terpenting, ketika ada perayaan agama, tidak ada yang mengganggu dan menghalangi. Untuk menjamin keamanan dan kelancaran perayaan tersebut, negara bisa menugaskan aparat untuk menjaga kondisi tetap aman dan tertib.
Sayangnya, masih ada praktik-praktik toleransi yang salah kaprah di tengah masyarakat. Terutama dilakukan oleh sebagian umat Islam yang mengaku sebagai muslim moderat. Toleransi yang sejatinya cukup dilakukan dengan cara membiarkan orang lain beribadah dan menjalankan perayaan agamanya tanpa gangguan, sekarang dalam praktiknya banyak yang kebablasan. Di antaranya dengan mengucapkan selamat hari raya yang sudah dianggap biasa.
Bukan hanya itu, sebagian kelompok muslim juga turut berpartisipasi dalam perayaan Natal. Mereka masuk gereja sebagai tamu, bahkan ikut mengisi acara dengan membuat kolaborasi antara nyanyian gereja dengan lantunan shalawat, hingga mengumandangkan azan dalam gereja. Bahkan, ada juga ulama yang berceramah di sana.
Selain itu, masih ada tendensi yang samar-samar masih diembuskan, seolah setiap menjelang perayaan Natal ada ancaman yang harus selalu diwaspadai. Sehingga, ada ketakutan tersendiri kalau-kalau ada yang akan mempersulit jalannya perayaan Natal. Seperti pidato Wakil Presiden Gibran Rakabuming baru-baru ini dalam acara pelantikan Pengurus Pusat (PP) Pemuda Katolik periode 2024-2027, di Gedung Konferensi Wali Gereja (KWI) Menteng, Jakarta Pusat, (17/12/2024).
Gibran berpesan, jika ada yang dipersulit saat menjalankan Misa Natal dan perayaan Natal agar segera melaporkan ke kepolisian, pemda atau langsung kepadanya melalui program “Lapor Mas Wapres”. Dia pun meminta seluruh hadirin untuk menyampaikan aduan jika ibadahnya dipersulit.
Sebagai pemimpin negara nomor dua di negeri ini, ucapan tersebut seharusnya tidak disampaikan. Karena, Hal itu membuat masyarakat bertanya, siapa kemungkinan yang akan mempersulit ibadah atau perayaan Natal? Hal ini juga bisa berpotensi menimbulkan benturan antarumat beragama. Padahal, selama ini kondisi umat beragama dalam suasana damai dan baik-baik saja.
Islam sangat jelas dalam mengajarkan toleransi kepada siapa pun, dan terhadap pemeluk agama mana pun. Sebagai bentuk toleransi, Islam membolehkan umatnya untuk berinteraksi, bermuamalah dalam masalah duniawi (bisnis, bertetangga, tolong-menolong, dsb.) dengan non-muslim.
Dalam hal keyakinan, Islam tidak boleh memaksakan keyakinan ajarannya terhadap orang lain. Melarang mencela sembahan-sembahan agama lain, merusak tempat ibadah mereka dan harus bersikap baik, jujur, dan adil terhadap mereka. Sikap keras hanya dibolehkan bagi non-muslim yang memerangi umat Islam secara nyata.
Akan tetapi, Islam juga memberikan batasan yang jelas dalam bertoleransi. Umat Islam tidak boleh mencampuradukkan akidah dan peribadatan agamanya dengan peribadatan agama lain. Hal ini merujuk pada Al-Qur’an Surah Al-Kafirun ayat 6 yang artinya, “Bagiku agamaku, dan bagimu agamamu.”
Dengan demikian, jelas tidak dibenarkan mengucapkan selamat terhadap hari raya agama lain, meskipun alasannya hanya untuk berbasa-basi. Sebab, meskipun hanya ucapan tapi bisa mencederai akidah karena memberi selamat atas apa yang mereka rayakan, yaitu kelahiran Tuhan mereka. Apalagi sampai berbaur dalam perayaan agama mereka, sungguh bentuk toleransi yang menyimpang.
Sayangnya, toleransi yang salah ini justru malah didukung oleh pemerintah. Dengan diaruskannya program moderasi beragama, masyarakat menjadi makin longgar dalam melaksanakan praktik keagamaan. Pemerintah tidak berperan sebagai penjaga akidah, bahkan seolah tidak peduli yang terpenting bagaimana mendapat predikat toleransi di mata dunia, ingin dipuji sebagai negara muslim yang moderat yang sesuai dengan keinginan Barat.
Inilah bahayanya ketika negara muslim sudah tunduk pada sistem yang diciptakan oleh kafir Barat. Bukan saja masalah sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan yang harus mengikuti arahan mereka, tetapi cara beragama pun harus disesuaikan dengan kemauan mereka. Tujuannya, agar umat Islam tidak terlalu dalam memahami agamanya, sehingga jauh dari ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, dipaksakan terhadap umat Islam untuk menganggap semua agama sama adanya, tidak boleh merasa bahwa agamanya yang paling benar. Itulah makna toleransi yang ingin dibangun dalam sistem kapitalis-sekuler.
Hanya sistem Islam yang terbukti bisa menjaga dan menjamin kerukunan antarumat beragama. Sudah terbukti selama 13 abad dalam pemerintahan Islam, semua agama bisa hidup berdampingan tanpa harus mengorbankan akidah kaum muslimin. Dimulai dari kepemimpinan Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam di Madinah, hingga Kekhilafahan Utsmaniyah di Turki yang baru berakhir pada tahun 1924 Masehi. Maka, sudah seharusnya Islam menjadi rujukan bagaimana bertoleransi, bukan toleransi ala Barat yang mengatasnamakan hak asasi.