
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi.
Linimasanews.id—Indonesia kembali digemparkan dengan berita kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang disabilitas. Pelaku yang biasa dipanggil Agus Buntung atau I Wayan Agus Suartama (21) diduga telah melakukan pelecehan seksual kepada sejumlah wanita dan beberapa anak-anak di Mataram, Nusa Tenggara Barat atau NTB (Liputan6.com, 5/12/2024).
Kasus Agus buntung menuai perhatian publik lantaran masih sulit dipercaya kebenarannya. Publik menjadi bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang disabilitas yang tidak memiliki tangan bisa melakukan perbuatan asusila terhadap sejumlah wanita? Menurut keterangan kepolisian, ternyata Agus memanfaatkan manipulasi emosional dan ancaman psikologis untuk memaksa korban mengikuti keinginannya. Bukti-bukti berupa video maupun rekaman suara manipulasi Agus dari para korban yang melapor turut membenarkan dugaan pelecehan seksual tersebut (Antaranews.com, 15/12/2024).
Kasus kriminalitas yang membuat publik bertanya-tanya akan kebenarannya itu tak hanya pada kasus Agus buntung saja, tetapi beberapa kasus lain sebelumnya juga membuat publik kaget sekaligus muncul perasaan tak percaya. Bagaimana bisa kasus ini terjadi? Sebelumnya, ada kasus seorang ibu kandung melakukan pelecehan seksual terhadap darah dagingnya sendiri. Seorang ibu di Tanggerang Selatan terpaksa digelandang kepolisian pada 3 Juni 2024 lalu lantaran viral videonya tengah melakukan pelecehan seksual terhadap anak kandungnya yang berusia 5 tahun (Liputan6.com, 4/6/2024).
Hal yang lebih mencengangkan publik, ternyata kasus pelecehan tersebut merupakan sebuah sindikat yang tak hanya terjadi pada satu orang saja, melainkan terbongkar beberapa kasus serupa dalam waktu yang berdekatan dengan modus yang sama. Salah seorang lagi di antaranya adalah seorang ibu di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang tega melakukan pelecehan seksual terhadap anak kandungnya yang berusia 10 tahun (Detik.com, 8/6/2024).
Dalam kasus lain yang juga membuat publik gempar, yang terjadi di awal tahun 2024 lalu adalah terjadinya pelecehan seksual oleh anak TK terhadap teman sekolahnya di Pekanbaru, Riau (Kumparan.com, 15/1/2024). Kasus-kasus yang membuat publik bertanya-tanya di atas itu seringkali menimbulkan banyak spekulasi dari berbagai pihak tentang mengapa kasus tersebut bisa terjadi. Seringnya spekulasi maupun penjelasan para ahli dalam mengamati kasus-kasus tersebut mengarah kepada kesalahan individu saja. Contoh misalnya dalam kasus Agus Buntung, para pakar sering kali menilai penyebab dari kasus tersebut lantaran kesalahan dari si pelaku sendiri. Disebut bahwa si pelaku bermasalah dan manipulatif.
Pun demikian dengan kasus ibu kandung yang melecehkan anak kandungnya sendiri. Meski motif dari adanya kasus itu adalah ekonomi, tetapi para pakar tetap menuding bahwa yang bersalah 100 persen adalah si ibu kandung tersebut. Juga adanya masalah anak TK yang melakukan pelecehan seksual terhadap teman sekolahnya, lagi-lagi publik hanya menyalahkan satu pihak, yakni orang tua pelaku saja.
Maka, adanya kasus-kasus yang membuat publik tercengang itu, apakah selesai hanya dengan menyalahkan pelaku saja? Apakah benar bahwa kasus tersebut terjadi mutlak merupakan kesalahan pelaku? Mari kita telaah kembali. Benarkah spekulasi dan penilaian demikian?
Kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh disabilitas, ibu kandung terhadap anak kandung, dan anak TK pasti ada pemicunya. Dorongan untuk melakukan pelecehan seksual seringnya tidak mutlak 100% berasal dari diri sendiri, tetapi ada pemicunya. Apa itu? Yakni tontonan-tontonan berbau pornografi. Gambar, cerita maupun film porno yang dikonsumsi oleh seorang individu akan mendorong mereka untuk ingin melakukan hal itu. Maka, segala cara akan dilakukan demi agar keinginannya tercapai, apalagi di sistem hari ini, orang bebas melakukan apa pun dan cenderung individualis untuk tidak bersikap amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat.
Pergaulan antara laki-laki dan perempuan campur baur tak ada aturan.,Bahkan ada undang-undang yang membolehkan perzinaan asalkan suka sama suka. Juga tak adanya ketegasan dari hukum dan kebijakan pemerintah untuk mengatur bagaimana peran seharusnya seorang ibu dalam merawat dan mendidik anak-anaknya. Apalagi motif kasus ibu kandung yang melecehkan anaknya itu adalah masalah ekonomi. Seperti yang kita tahu, ekonomi masyarakat hari ini cenderung melemah bahkan menurun. Bahan pokok makin naik, lapangan pekerjaan sulit didapatkan, upah pekerja cenderung minim, dan mahalnya fasilitas kesehatan dan pendidikan membuat masyarakat tidak sedikit yang rela melakukan kejahatan hanya demi uang.
Belum diperparah dengan sistem pendidikan yang hanya mengedepankan nilai-nilai akademis sebagai tolok ukur kecerdasan dan kesuksesan seorang pelajar, tanpa disertakan bagaimana adab yang baik dan bagaimana beragama dengan benar. Ekonomi yang merosot, pendidikan yang tidak mendukung masyarakat untuk memahami nilai-nilai agama dan adab, hukum yang cenderung lemah, tidak adanya batasan pergaulan antar laki-laki dan perempuan di ranah publik, serta mudahnya akses informasi negatif yang masuk ke tengah masyarakat adalah wujud dari diterapkannya sistem sekulerisme. Sistem yang mempertontonkan disfungsi negara dalam mengayomi masyarakat dan lebih mementingkan pihak-pihak tertentu saja. Negara cenderung menjadi fasilitator untuk para korporat dan swasta daripada rakyat sendiri. Itulah gambaran nyata dari buruknya sistem sekulerisme.
Maka, nyata sudah bahwa penyebab utama dari kasus-kasus pelecehan seksual di atas bukanlah mutlak 100% dorongan dari individu semata. Individu yang memiliki kecenderungan buruk, mendapatkan informasi negatif yang tidak terfilter oleh negara. Kecenderungan berbuat buruk itu diperkuat oleh adanya informasi negatif tersebut yang kemudian difasilitasi oleh lingkungan sosial berupa campur baurnya laki-laki dan perempuan tanpa ada batasan di ruang publik, serta lemahnya perekonomian masyarakat yang dipertemukan oleh jiwa-jiwa yang tidak memiliki rasa takut pada Tuhannya, yang pada akhirnya terjadilah kasus-kasus pelecehan seksual tersebut.
Pun demikian dengan kasus anak TK yang melecehkan teman sekolahnya sendiri. Dorongan pelecehan tersebut tentu tidak datang dari si anak, melainkan ada pemantiknya, yakni akibat dari tontonan-tontonan berbau pornografi yang dilihat si anak melalui ponsel orangtuanya. Mudahnya akses informasi negatif yang didapatkan oleh masyarakat dan abainya negara dalam memberantas atau bahkan menutup akses informasi negatif tersebut menjadi jalan mulus bagi kemaksiatan dan kejahatan untuk terus ada dan terjadi di tengah masyarakat. Dengan kata lain bahwa sistem sekuler yang diterapkan oleh negara pada hari ini menjadi memfasilitasi seseorang untuk melakukan kejahatan dan kemaksiatan. Lagi-lagi, itulah buruknya sistem sekuler yang diadopsi oleh negara.
Pemisahan antara agama dan kehidupan sehari-hari menjadikan seorang individu tidak memiliki rasa takut akan dosa yang dilakukan maupun keyakinan akan pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Konsep seperti ini tidak dikenal dalam sistem sekulerisme yang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri dan merasa dirinya adalah mutlak miliknya. Oleh karenanya, hak asasi dijunjung tinggi hingga akhirnya manusia kebablasan akibat bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan. Tak hanya kemaksiatan dan kejahatan yang makin merajalela, namun juga bermunculan penyakit-penyakit baru sebagai akibat dari bebasnya manusia berbuat semaunya tanpa batasan dari agama.
Lantas, bagaimana menanggulangi segala kasus-kasus asusila ini serta menghentikan kasus kejahatan dan kemaksiatan secara total? Maka, jawabannya tidak lain, tidak bukan adalah wajib diperjuangkannya sistem Islam untuk diterapkan di dalam pemerintahan dan kehidupan sehari-hari.
Negara dalam sistem Islam sebagai ra’in dan junnah, yakni pelindung dan pengayom masyarakat. Dalam bidang perekonomian, negara dengan sistem Islam akan mengambil alih kepengurusan SDA secara langsung tanpa perantara dari swasta. Dengan demikian, lapangan kerja terbuka seluas-luasnya untuk masyarakat dengan upah yang sangat layak. Fasilitas kesehatan dan pendidikan dibuat murah dan mudah dijangkau, serta harga-harga bahan pokok dibuat stabil tanpa takut terjadinya inflasi. Dari sistem ekonomi yang kuat inilah tercegah individu melakukan kejahatan dengan motif sulitnya ekonomi.
Selain di bidang ekonomi, negara juga melindungi rakyat dengan ditutupnya akses informasi yang bersifat negatif dan merusak. Tontonan-tontonan berbau pornografi maupun hal-hal yang tidak pantas tidak akan bisa diakses atau diproduksi oleh masyarakat. Sebagai gantinya, negara hanya memberikan informasi positif dan bersifat membangun. Kemudian dari segi pendidikan, sistem Islam mengutamakan pendidikan berbasis akidah dan akhlak. Peserta didik ditanamkan sejak dini dengan akidah yang lurus hingga terpatri dalam jiwanya untuk memiliki rasa takut kepada Allah dan terwujud dalam perilakunya untuk senantiasa bersikap hati-hati. Hal ini merupakan bagian dari penjagaan negara terhadap individu melalui diri mereka sendiri, sehingga kemaksiatan dan kejahatan dapat tercegah di level individu.
Kemudian dari segi hukum, negara menerapkan syariat Allah sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis dengan menegakkan keadilan seadil-adilnya serta hukuman yang setimpal hingga memiliki efek jera bagi masyarakat yang ada keinginan melakukan kejahatan atau kemaksiatan. Seperti misalnya hukuman rajam hingga mati bagi pezina yang sudah menikah, yang hukumannya tersebut wajib dilakukan di depan publik dan disaksikan oleh masyarakat luas. Terlihat kejam dan tidak manusiawi, namun efek jeranya dapat mencegah masyarakat melakukan perzinaan.
Adapun pemimpin dan jajarannya dalam pemerintahan juga amanah dan memiliki rasa takut kepada Allah dalam menjalankan pemerintahan maupun menegakkan keadilan. Sehingga hukum pun tak tebang pilih dan tidak mudah dibeli. Oleh karenanya, dengan diterapkannya sistem Islam dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka tak hanya tercegah darinya kejahatan dan kemaksiatan seperti adanya kasus-kasus pelecehan seksual seperti yang terjadi di atas, tetapi juga membawa keberkahan kepada umat. Maka dari itu, sudah selayaknya umat Islam sadar bahwa hanya sistem Islamlah yang mampu mengatasi segala keruwetan hidup pada hari ini dan wajib memperjuangkan diterapkannya sistem Islam ini dalam bernegara dan dalam kehidupan sehari-hari secara kaffah.