
Oleh: Novi Ummu Mafa
Linimasanews.id—Dalam beberapa tahun terakhir, gagasan Rumah Moderasi (RM) menjadi sorotan sebagai salah satu solusi dalam mengatasi potensi konflik terkait isu agama. Rumah Moderasi didirikan di berbagai kampus Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di Indonesia dengan tujuan menciptakan kerukunan antarumat beragama. Seperti yang dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag) Kota Manado bekerja sama dengan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado dalam kegiatan Lokalatih Negosiasi Komunitas untuk Kerukunan Umat Beragama” yang diselenggarakan oleh PUSAD Paramadina dan Rumah Moderasi Beragama IAIN Manado (antaranews.com, 03/10/2024).
Namun, di balik jargon toleransi dan keharmonisan yang diusung, pendirian RM sejatinya menjadi bagian dari agenda besar moderasi beragama yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. RM bukan sekadar bangunan fisik, tetapi juga alat ideologis untuk membentuk pola pikir generasi muda agar menjauhi Islam sebagai pedoman hidup yang kaffah.
Moderasi Beragama: Agenda Tersembunyi?
Moderasi beragama dipopulerkan sebagai pendekatan yang menekankan toleransi, keseimbangan, dan penghindaran ekstremisme dalam beragama. Sayangnya, konsep ini sering kali diartikan sebagai penyeimbangan nilai agama dengan prinsip-prinsip sekuler, sehingga meminggirkan aspek-aspek syariat yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Barat. Secara ideologis, moderasi beragama sejalan dengan agenda deideologisasi Islam yang digagas oleh lembaga-lembaga pemikir Barat seperti RAND Corporation. Lembaga ini mengkategorikan umat Islam ke dalam kelompok radikal, tradisional, moderat, dan liberal dengan tujuan mendukung kelompok moderat dan liberal untuk melemahkan pengaruh Islam yang kaffah.
Narasi moderasi beragama juga menciptakan dikotomi palsu antara “Islam moderat” dan “Islam radikal.” Hal ini berimplikasi pada stigmatisasi terhadap muslim yang teguh memegang syariat sebagai kelompok ekstrem yang dianggap mengancam stabilitas sosial.
Bahaya RM terhadap Akidah Generasi
Keberadaan Rumah Moderasi (RM) di kampus-kampus Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) menjadi ancaman serius terhadap akidah generasi muda. Salah satu alasannya adalah melonggarkan ikatan akidah dengan mengajarkan toleransi berdasarkan standar sekuler. Hal ini membuat mahasiswa terpapar pemahaman bahwa semua agama memiliki kedudukan yang sama, padahal Islam telah menetapkan bahwa satu-satunya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam (QS. Ali Imran: 19).
Selain itu, prinsip moderasi beragama yang diusung RM sering kali mengabaikan kewajiban syariat, seperti amar makruf nahi munkar. Akibatnya, mahasiswa yang seharusnya menjadi agen perubahan justru dijauhkan dari pemahaman Islam yang kafah. Lebih jauh, RM juga melemahkan peran Islam sebagai ideologi dengan mendidik generasi muda untuk memandang agama hanya sebagai ranah pribadi dan moral, bukan sebagai pedoman hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan.
Islam: Solusi Hakiki bagi Toleransi dan Keharmonisan
Islam sejatinya sudah memiliki aturan yang jelas dan relevan dalam membangun toleransi dan keharmonisan, baik di masyarakat umum maupun di lingkungan kampus. Rasulullah ﷺ telah memberikan contoh nyata dalam membangun masyarakat madani yang plural. Dalam Piagam Madinah, Rasulullah menetapkan prinsip hidup berdampingan tanpa mencampuradukkan akidah atau melonggarkan syariat Islam.
Toleransi dalam Islam tidak berarti menerima semua agama sebagai setara, melainkan memberikan kebebasan kepada nonmuslim untuk menjalankan keyakinannya tanpa gangguan, sebagaimana firman Allah,
“Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6)
Sejarah Islam juga mencatat bahwa umat Islam, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan secara damai selama ratusan tahun di Andalusia, Mesir, dan wilayah lainnya di bawah pemerintahan Islam. Dengan prinsip ini, Islam memberikan solusi harmoni yang jauh lebih efektif daripada narasi moderasi beragama yang berbasis sekuler.
Peran Negara dalam Menjaga Akidah Generasi
Dalam sistem Islam, menjaga akidah generasi muda merupakan salah satu kewajiban utama negara. Penguasa memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan umat tetap terikat pada syariat melalui berbagai langkah strategis. Pertama, negara memberikan nasihat dan edukasi dengan mengarahkan masyarakat, termasuk generasi muda, melalui pendidikan Islam yang berbasis akidah.
Dalam hal ini, Departemen Penerangan dan lembaga pendidikan berperan menyebarkan nilai-nilai Islam yang sahih. Kedua, penegakan hisbah dilakukan melalui penempatan kadi hisbah, yang bertugas memastikan akidah umat tetap terjaga dari berbagai pemahaman yang menyesatkan. Ketiga, negara melarang program-program yang berpotensi merusak akidah, seperti Rumah Moderasi (RM). Sebaliknya, negara mendukung inisiatif yang mendorong generasi muda untuk memahami dan mengamalkan Islam secara kaffah.
Kembali pada Islam Kaffah
Islam sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh (kafah) telah memberikan solusi atas persoalan toleransi, keberagaman, dan hubungan antaragama.Oleh karena itu, generasi muda harus dididik untuk memahami Islam secara benar, bukan melalui narasi moderasi yang justru melemahkan prinsip-prinsip akidah. Umat Islam perlu menyadari bahaya tersembunyi di balik pendirian Rumah Moderasi (RM) dan program-program moderasi beragama lainnya.
Langkah-langkah nyata yang harus dilakukan mencakup memperkuat pemahaman akidah melalui pembinaan intensif di kampus maupun komunitas. Selain itu, umat harus menolak narasi Barat dengan memahami bahwa program moderasi beragama merupakan alat sekularisasi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Langkah terakhir adalah mendorong penerapan sistem Islam, yaitu berjuang untuk mewujudkan institusi Islam yang mampu melindungi umat dari pengaruh paham-paham yang merusak.
Dengan demikian, umat Islam, khususnya generasi muda, harus waspada terhadap narasi moderasi beragama. Sebagai gantinya, mereka harus kembali kepada Islam yang murni dan menjadikan Al-Qur’an dan Sunah sebagai pedoman hidup yang sempurna. Islam tidak membutuhkan moderasi untuk menjadi agama yang penuh toleransi, karena Islam itu sendiri adalah rahmat bagi seluruh alam.