
Oleh: Nur Afni
(Ibu Peduli Negeri)
Linimasanews.id—Toleransi kebablasan jelang Nataru (Natal dan Tahun Baru) muncul di tengah-tengah masyarakat sejatinya mencampuradukkan ajaran Islam dan Nasrani, baik itu budaya dan tradisi apapun yang menyertainya. Hal ini tidak layak dilakukan bahkan merupakan sebuah keharaman bagi umat Islam, karena menampilkan aktivitas menyerupai ajaran agama lain. Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar, mengajak seluruh masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antar umat beragama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2024/2025.
Nasaruddin juga mengingatkan bahwa menjaga toleransi adalah bagian penting dari identitas bangsa Indonesia. Bahkan beliau mengajak masyarakat untuk memanfaatkan momen Natal dan Tahun baru sebagai waktu untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan. Tak hanya menteri agama, Walikota Surabaya Eri Cahyadi juga menghimbau masyarakat untuk tetap bersikap toleran dan menjaga kerukunan. Kerjasama antara pemerintah, aparat keamanan, dan warga diharapkan mampu menciptakan suasana yang aman dan damai selama perayaan Natal dan Tahun Baru di Kota Pahlawan (13/12).
Kata “toleransi” sering disampaikan khususnya kepada umat Islam, apalagi menjelang perayaan natal dan tahun baru. Seolah bagaimana sikap umat Islam menjelang Nataru, menjadi tolok ukur seberapa jauh umat Islam bersikap toleran. Misalnya, umat Islam yang berpartisipasi dalam perayaan nataru maka akan disebut sebagai umat Islam yang toleran, cinta damai, dsb. Namun sebaliknya, jika ada umat Islam yang tidak menghadiri bahkan tidak mengucapkan selamat Natal, maka akan dicap sebagai umat Islam yang intoleran.
Padahal sejatinya, toleransi atau ikut berpartisipasi serta mengamalkan ajaran agama lain merupakan sikap yang bertentangan dengan akidah dan ajaran agama Islam. Bahkan praktik toleransi tersebut ditolak secara tegas oleh Allah Swt. dan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, melalui turunnya surah “Al-Kafirun.” Bagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya, “Al-Jami’ lil Ahkam Al-Qur’an.” Namun faktanya, seruan toleransi yang bertentangan dengan ajaran Islam justru kembali berulang. Hal ini terjadi karena tidak ada penjagaan dari Negara atas aqidah umat Islam.
Negara di dalam sistem kapitalisme sekularisme adalah negara yang memisahkan aturan agama dari kehidupan ini, sehingga tidak menjadikan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. sebagai sumber aturan dalam berbuat dan bertingkah laku. Negara sekularisme kapitalisme mengusung ide-ide Barat yang sangat mendewakan kebebasan, salah satunya adalah kebebasan berbuat dan bertingkah laku, tanpa terikat dengan aturan Allah dan Rasulnya. Padahal, prinsip seperti ini bertentangan dengan syariat dan akidah Islam.
Alhasil, masyarakat terutama umat Islam tidak bisa memahami syariat toleransi dengan benar. Atas nama HAM sebagai pijakan dan ditambah masifnya kampanye moderasi beragama, membuat umat makin jauh dari pemahaman toleransi yang benar. Negara sekularisme kapitalisme tidak menjaga akidah umat Islam. Maka dari itu, umat Islam butuh adanya “reminder” (peringatan) sebab kecenderungan masyarakat semakin terjadi. Umat Islam jangan sampai terkecoh dengan ide-ide Barat yang memang sengaja diaruskan kepada umat Islam, termasuk pada saat momen nataru setiap akhir tahun. Umat Islam perlu waspada dan menjaga diri agar tetap dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Islam memiliki definisi yang jelas tentang toleransi dan konsep yang jelas dalam interaksi dengan agama lain. Praktik toleransi yang diajarkan oleh Rasulullah ialah dengan membiarkan umat nonmuslim melakukan peribadatannya tanpa perlu ikut berpartisipasi sebagaimana dalam Quran surah Al-Kafirun. Bahkan toleransi dengan nonmuslim tidak boleh mengurangi keyakinan umat Islam bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhoi Allah Swt., dan satu-satunya jalan keselamatan di akhirat (QS.Ali-Imran:19).
Toleransi dilakukan dengan tidak memaksa non muslim untuk meyakini Islam berdasarkan (QS.Al-Baqarah:256). Mereka cukup didakwahi atau diajak masuk ke dalam Islam. Namun, jika mereka menolak maka mereka dibiarkan memeluk agama yang mereka yakini. Bahkan “toleransi” tidak boleh mengurangi keyakinan bahwa penerapan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) akan memberikan rahmat bagi seluruh umat manusia, baik itu muslim ataupun nonmuslim (QS. Anbiya’:107).
Islam membolehkan umatnya untuk bermuamalah dengan nonmuslim seperti, jual beli, sewa menyewa, ajar mengajar dalam ilmu pengetahuan sains dan teknologi. Bahkan Islam pun memerintahkan agar umat Islam berbuat baik dan berperilaku adil terhadap non muslim berdasarkan (QS. Al-Mumtahanah: 08).
Inilah toleransi syar’i yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Toleransi seperti ini akan menjaga kemurnian akidah umat Islam dari ide-ide Barat, seperti pluralisme, moderasi beragama, dsb. Praktik toleransi syar’i, akan menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat. Namun toleransi syar’i bukan sekadar amalan individu dan masyarakat, tetapi amalan yang harus dilakukan oleh negara. Negara yang bisa melakukannya adalah negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Hal itu telah dibuktikan selama 1300 tahun lamanya Khilafah berdiri dan kerukunan umat beragama selalu terjaga, tanpa merusak akidah umat Islam.
Sudah saatnya umat bangkit dan bersatu untuk menegakkan kembali sistem Islam di muka bumi ini dalam bingkai Khilafah. Hanya sistem Islam yang mampu menjaga kemurnian akidah dan syariat Islam. Dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Al-Libas)