
Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.id—Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memastikan kesiapan perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024-2025 berjalan lancar dengan fokus keamanan pada tempat peribadatan. Sebagai upaya memperkuat toleransi, Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi meminta warga untuk bersikap toleran dan menjaga kerukunan agar tercipta suasana aman dan damai selama perayaan Nataru (JawaPos.com, 13/12/2024).
Seperti tahun-tahun sebelumnya, jelang perayaan Nataru seruan toleransi terus digaungkan. Namun, kaum muslim perlu waspada agar tidak terseret arus toleransi yang kebablasan. Umat harus waspada akan adanya skenario besar di balik seruan toleransi, yaitu memalingkan umat dari keyakinannya bahwa hanya Islam agama yang dibenarkan oleh Allah, menjadi semua agama adalah benar sebagaimana konsep pluralisme. Pluralisme ini bertentangan dengan akidah Islam. Islam sangat menghargai keberagaman (plural) dalam masyarakat, tetapi menolak pluralisme beragama.
Bagaimanakah toleransi dalam pandangan Islam? Sejatinya Islam telah mengajarkan dan memperagakan toleransi yang sangat indah sejak masa Rasulullah saw. Islam menyatukan suku, bahasa, adat istiadat yang berbeda menjadi saudara di bawah naungan tauhid, Laa ilaaha illallah. Kita Makkah dan Madinah adalah contoh. Di sana umat Islam, Nasrani, dan Yahudi bisa hidup berdampingan dengan aman ketika syariat Islam ditegakkan. Mereka mempunyai hak yang sama sebagai warga negara, mendapatkan jaminan keamanan yang sama, dan kebebasan menjalankan ibadat sesuai keyakinannya dalam naungan Daulah Islam.
Islam tidak pernah melarang interaksi muslim dan nonmuslim dalam perkara yang mubah, seperti jual beli, menjenguk orang sakit, serta memperlakukan tetangga nonmuslim dengan baik sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah. Namun, tidak ada toleransi dalam perkara syariat dan akidah. Umat Islam wajib memahami hanya Islamlah agama yang benar, tidak boleh ada pemahaman semua agama adalah benar.
Islam telah memberi tuntunan bagaimana cara bertoleransi dengan umat beragama lain melalui firman Allah QS. Al-Kafirun ayat 6, “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” Karena itu, toleransi bukanlah dengan ikut serta dalam merayakan maupun memperagakan peribadatan agama lain. Cukuplah menghormati dan tidak mengusik peribadatan mereka.
Di samping itu, Islam juga tidak menoleransi pihak yang menolak syariat dengan menghalangi umat Islam menjalankan syariat. Bagi kaum kafir harbi yang memusuhi Islam, status hubungannya adalah perang. Namun, bagi orang kafir yang tidak membenci Islam (kafir dzimi) maka mendapat perlindungan. Inilah gambaran ketegasan Islam. Tampak jelas batas antara hak dan batil.
Islam telah mengajarkan toleransi yang indah yang diakui dunia. Sejarah mencatat umat Islam terdahulu sudah mempraktikkan toleransi dengan baik selama 13 abad di masa kekhilafahan. Dunia pun mengakui umat yang beragam bisa hidup berdampingan dengan aman pada masa khilafah.
Ketika syariat Islam diterapkan secara kafah, aturan-aturan Islam justru mampu menjaga dan melindungi keberagaman dalam masyarakat. Hal ini sekaligus menyanggah pendapat jika khilafah tak bisa ditegakkan dalam masyarakat yang majemuk dan beragam. Sebab, sejatinya Islam mengatur semua urusan umat manusia, bukan hanya muslim namun juga nonmuslim. Islam memiliki pemahaman yang terang tentang toleransi. Maka, seharusnya umat sadar dan tidak tergelincir pada pemahaman toleransi yang kebablasan. Umat harus disadarkan bahwa toleransi adalah menghargai, bukan ikut merayakan.