
Oleh: Dedek Nurjannah
Linimasanews.id—Dari masa ke masa, rakyat tak henti didera sejumlah pajak. Terkadang, pungutan di tengah berbagai keterbatasan hidup berhasil menyulut perlawanan.
Melansir tirto.id, mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Beberapa barang yang akan dikenakan PPN 12 persen antara lain beras premium, daging premium, buah premium, jasa pendidikan premium, jasa pelayanan kesehatan premium, dan pelanggan listrik dengan daya 3500-6600 VA.
Sejumlah dalih diungkapkan untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen. Pertama, untuk meningkatkan pendapatan negara. Kedua, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Ketiga, untuk menyesuaikan dengan standar internasional.
Pajak, Peninggalan Penjajah
Anehnya, sejarah tentang pajak di negeri ini sudah ada sejak masa lalu, bahkan sejak masa klasik atau masa kerajaan. Sejumlah prasasti menyebut mengenai penarikan pajak yang berasal dari kerajaan masa Hindu-Buddha.
Setelah era klasik, di masa kolonial pajak juga menjadi salah satu pemasukan bagi negara. Hal ini diberlakukan pada masa pendudukan VOC Belanda maupun penjajahan Inggris, serta pada masa pendudukan Jepang di negeri ini, yang tentu saja memicu perlawanan rakyat yang disengsarakan karena pajak.
Entah apa alasannya, hingga negeri yang mengklaim telah merdeka sejak 79 tahun lalu ini tetap memberlakukan pemungutan pajak atas rakyatnya dengan alasan serupa. Jelas hal demikian menunjukkan gagalnya sistem kapitalisme yang diadopsi untuk membangun negara
Islam Membangun Negara Bukan dengan Pajak
Sistem ekonomi Islam menetapkan negara sebagai raa’in (pengurus rakyat), yang memenuhi kebutuhan dan mensejahterakan rakyat, membuat kebijakan yang membuat rakyat hidup tenteram.
Sistem ekonomi Islam menetapkan aturan kepemilikan dan menjadikan sumber kekayaan alam sebagai milik umum yang wajib dikelola negara dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan berbagai mekanisme yang diatur syarak. Sumber daya alam (SDA) ini adalah salah satu sumber pemasukan negara.
Negara memiliki berbagai sumber pemasukan yang cukup untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu. Sumber tetap pemasukan negara dalam Baitul Mal tersebut berupa fa’i, jizyah, kharaj, seperlima harta rikaz dan zakat. Sumber pendapatan yang disimpan di Baitul mal mencakup harta yang dipungut dari kantor cukai di sepanjang perbatasan negara, harta yang dihasilkan dari pemilikan umum atau pemilikan negara, dan dari harta waris bagi orang yang tidak memiliki ahli waris.
Apabila sumber tetap pemasukan Baitul mal tidak mencukupi anggaran negara, barulah negara boleh memungut pajak dengan ketentuan ketat, yaitu pertama, untuk memenuhi biaya yang menjadi kewajiban baitul mal kepada para fakir, miskin, ibnu sabil, dan pelaksanaan kewajiban jihad. Kedua, untuk memenuhi biaya yang menjadi kewajiban baitul mal sebagai pengganti jasa dan pelayanan kepada negara, seperti gaji para pegawai, gaji tentara, dan santunan para penguasa.
Ketiga, untuk biaya yang menjadi kewajiban Baitul mal dengan pertimbangan kemaslahatan dan pembangunan tanpa mendapatkan ganti biaya, seperti pembangunan jalan raya, masjid, sekolah, dan rumah sakit. Keempat, untuk kebutuhan biaya yang menjadi tanggung jawab baitul mal dalam keadaan darurat, seperti bencana yang menimpa rakyat, misalnya bencana kelaparan, angin topan, atau gempa bumi.
Dalam Islam, pajak merupakan alternatif terakhir dipungut oleh negara dalam kondisi kas negara kosong dan ada kewajiban negara yang harus ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, dan hanya dipungut pada rakyat yang mampu/kaya.
Islam menentukan kondisi (waktu) negara boleh memungut pajak. Pajak hanya dipungut negara dari kaum muslim sesuai dengan ketentuan syarak untuk pengeluaran Baitul mal, dengan syarat pungutannya berasal dari kelebihan kebutuhan pokok, yaitu setelah pemilik harta memenuhi kewajiban tanggungannya dengan cara yang lazim. Di samping itu, hendaknya diperhatikan bahwa jumlah pajak sebatas untuk mencukupi kebutuhan negara.