
Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.id—Per tanggal 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12%. Perubahan ini sesuai dengan isi pasal 7 ayat 1 huruf b Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kenaikan PPN menyasar beberapa sektor, yaitu sektor kebutuhan pokok (beras), sektor pendidikan, sektor kesehatan hingga transportasi dan listrik. Dalih pemerintah menaikan PPN ini di antaranya demi meningkatkan pendapatan negara, mengurangi ketergantungan utang luar negeri, dan menyesuaikan standar internasional.
Keputusan pemerintah menaikan pajak di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang kian mencekik tentu memicu penolakan. Bahkan, hingga 20 Desember 2024 ada 145.362 orang yang menandatangani petisi meminta pembatalan kenaikan PPN (tirto.id, 21/12/2024).
Sebelumnya Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengungkapkan betapa tidak masuk akalnya rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%. Menurut dia, kenaikan itu hanya menyengsarakan rakyat, namun tidak signifikan menambah penerimaan negara. Faisal menilai rencana kenaikan PPN menjadi 12% juga tidak adil. Sebab, pemerintah masih jor-joran memberikan banyak insentif fiskal kepada korporasi besar. Dia juga menyebut jika menaikan PPN hanya akan menambah pendapatan negara tak lebih dari 100 triliun, sedangkan jika pemerintah menerapkan pajak ekspor batu bara pemerintah akan mampu menambah pendapatan hingga 200 triliun (cnbcindonesia.com, 20/12/2024).
Inilah gambaran nyata penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber dana pembangunan. Sebab itulah, kenaikan pajak adalah suatu keniscayaan di tengah maraknya pembangunan berbalut pencitraan. Pembangunan untuk kepentingan rakyat seolah hanya sebatas jargon. Karena faktanya, tidak semua masyarakat bisa menikmati hasil pembangunan.
Pajak dalam sistem kapitalisme bersifat wajib dan dibebankan pada semua rakyat. Namun, kapitalisme kerap tak berlaku adil pada rakyat. Pengusaha justru mendapat keringanan pajak, sementara rakyat terus diperas dan dihujani dengan berbagai jenis pajak yang jumlahnya terus naik. Amnesti pajak kerap diberikan kepada pengusaha dengan dalih upaya meningkatkan investasi. Sedangkan jika penunggak pajak adalah rakyat, maka siap-siap saja dikejar hingga liang kubur.
Kepentingan masyarakat tidak pernah menjadi prioritas dalam sistem kapitalisme, justru rakyat hanya dijadikan objek yang kerap kali dikorbankan demi kepentingan para elite penguasa. Dalam penerapan ekonomi kapitalisme, rakyat tak henti didera pajak dari masa ke masa, sekalipun di tengah impitan ekonomi yang kian menjepit.
Kondisi ini sejalan dengan 4 asas pajak Adam Smith, seorang ekonom Inggris abad ke 18 dalam bukunya Wealth of Nation, yaitu Equality, Certainty, Convenience of Payment dan Economic in Collection. Pajak yang diambil disesuaikan dengan pendapatan per individu, tanpa kompromi dan dipungut di waktu yang tepat ketika wajib pajak baru mendapatkan penghasilan. Dan yang terpenting, biaya untuk pemungutan pajak tidak boleh melebihi pemasukan pajak yang didapatkan.
Pemegang kendali dalam sistem kapitalis adalah pemilik modal. Tak pelak, rakyat dalam sistem ini selalu menjadi korban. Negara yang seharusnya jadi pelindung rakyat, justru minim peran karena memang dalam sistem ekonomi kapitalisme, negara berperan hanya sebatas regulator kebijakan dan tidak berperan langsung dalam kegiatan ekonomi. Akibatnya, banyak kebijakan yang lahir hanya memihak pada pihak pemilik modal dan penguasa dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Pemilik modal memiliki kebebasan melakukan usaha dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Hal inilah yang menyebabkan monopoli sangat wajar terjadi dalam sistem ekonomi kapitalis. Akibatnya, terjadi kesenjangan sosial. Masyarakat juga tumbuh menjadi masyarakat yang individualis karena kepemilikan individu menjadi sangat penting dalam sistem ekonomi kapitalis ini.
Pajak dalam Pandangan Islam
Dalam penerapan Islam kafah, pajak bukan suatu keharusan. Pajak menjadi alternatif terakhir yang akan diambil dalam keadaan darurat. Pajak hanya bersifat sementara yang dipungut ketika kas negara kosong. Itu pun hanya berlaku untuk rakyat yang mempunyai kelebihan harta saja, sesuai ketetapan syariat. Ketika kas negara sudah kembali terisi, maka pemungutan pajak akan dihentikan.
Pajak tidak pernah menjadi sumber pendapatan utama dalam sistem Islam. Sumber pendapatan negara berasal dari pos-pos baitul maal yang sangat banyak sehingga mampu meminimalisir kekurangan pendapatan negara.
Jika dalam sistem kapitalisme kepemilikan individu yang utama, maka dalam sistem Islam kepemilikan individu justru dilarang jika itu menyangkut sumberdaya alam yang bersangkutan dengan orang banyak. Islam jelas menetapkan aturan kepemilikan sumber kekayaan alam sebagai milik umum yang dilarang dimiliki secara individu dan wajib dikelola negara yang hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai dengan hukum syarak. Alhasil, negara tidak akan membebankan biaya pembangunan pada rakyat melalui pungutan pajak seperti saat ini.
Negara juga memegang peran penting sebagai raa’ in atau pengurus umat yang wajib mengurusi segala urusan umat dan memastikan setiap kebutuhan umat terpenuhi. Kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan hingga transportasi dipastikan terpenuhi dengan baik dan mudah terjangkau, bahkan gratis.
Selain itu, sistem ekonomi Islam yang khas juga terbukti mampu mencegah monopoli oleh sebagian kelompok saja. Sepanjang sejarah penerapan sistem Islam kafah dalam naungan khilafah, ekonomi masyarakat berkembang dengan baik. Namun, ketika sistem Islam tak lagi ditegakkan dan umat lebih memilih menerapkan sistem buatan manusia, yakni sekuler kapitalis, di situlah problematika umat dimulai. Karenanya, saatnya umat sadar bahwa tak ada sistem yang sempurna mengatur kehidupan manusia, selain sistem dari Allah Swt, yakni sistem Islam.