
Oleh: Resti Meitania
Linimasanews.id—Di penghujung tahun 2024 rakyat diresahkan dengan rencana pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pasal 4 angka 2 tahun 2021 menjadi 12% berlaku awal tahun 2025. Naiknya PPN tentu akan berpengaruh kepada harga jual aneka barang dan nilai jasa di Indonesia. Dampaknya, makin mempersulit kondisi masyarakat di tengah tekanan dalam memenuhi kebutuhan.
Meskipun pemerintah beralasan kenaikan pajak ini turut menopang program Makan Bergizi Gratis, untuk membantu peningkatan pembangunan di bidang infrastruktur, pendidikan hingga kesehatan dan perlindungan sosial, namun kenaikan ini memicu gelombang penolakan.
Di Semarang, BEM KM Universitas Negeri Semarang (Unnes) dengan tegas menolak kenaikan PPN tersebut dan siap untuk melakukan demonstrasi penolakan secara besar-besaran (detik.com/jateng,23/12/2024). Selain itu, muncul petisi berjudul “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!”. Petisi yang diprakarsai oleh sebuah akun bernama “Bareng Warga” ini sudah dimulai sejak tanggal 19 November 2024 dan hingga tanggal 24 Desember telah ditandatangani oleh 187.062 orang (cnbcindonesia.com, 24/12/2024). Petisi yang telah diserahkan kepada pemerintah melalui kantor kesekretariatan negara ini menjadi harapan dari rakyat agar kenaikan PPN ini bisa dibatalkan.
Zalim
Dengan naiknya pajak pertambahan nilai, tentu saja harga-harga barang dan jasa akan turut naik, padahal tidak diikuti dengan naiknya pendapatan rakyat. Alhasil, dapat berdampak pada turunnya daya beli masyarakat hingga membuat rakyat tertekan secara ekonomi dan menimbulkan lebih banyak perilaku kriminal, pencurian, penipuan, korupsi, judi online, dan pinjaman online.
Dengan semakin mahalnya biaya untuk membeli barang dan membayar jasa, masyarakat sedikit demi sedikit juga akan kehilangan kesempatan untuk dapat merasakan fasilitas kesehatan yang memadai dan tidak sedikit pula anak Indonesia yang akan mengalami putus sekolah.
Secara umum, apa pun bentuk kebijakan penguasa yang membuat rakyat semakin menderita, masuk ke dalam kategori zalim. Rakyat seharusnya berada dalam perlindungan dan jaminan kesejahteraan dari penguasa, bukan diperas dengan dalih untuk pembangunan.
Dengan pemerintahan yang berasaskan pada ideologi sekuler-kapitalis, kita tidak akan pernah mendapatkan pemimpin yang adil. Karena, apa pun kebijakan yang dikeluarkan, selalu berdampingan dengan berbagai kepentingan untuk para pemodal. Selain itu, penguasa zalim akan senantiasa hadir dalam sistem pemerintahan ini disebabkan karena tidak adanya rasa takut kepada Rabb Pencipta alam semesta. Sebab, dalam paham sekuler, kehidupan haruslah dipisahkan dari aturan agama. Oleh karena itu, kenaikan pajak sangat mencirikan sosok penguasa yang zalim, penguasa yang tidak lagi peduli rakyatnya, bahkan sama sekali tidak mengindahkan perintah atau aturan dari Rabb-nya.
Peran Penguasa dalam Islam
Dalam Islam, penguasa merupakan sosok yang bertanggung jawab, bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Adanya kesadaran yang dibangun tentang hubungan antara manusia dan Rabb-nya membuat manusia senantiasa taat dan patuh pada perintah dan larangan Allah, termasuk dalam tugas sebagai pemimpin.
Lahirnya kebijakan zalim adalah akibat ketiadaan peran penguasa sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) yang memelihara dan melindungi rakyatnya. Dalam Islam, peran raa’in bagi penguasa merupakan bentuk dari tanggung jawab penguasa terhadap upaya pemenuhan segala kebutuhan rakyat. Dalam perannya sebagai junnah, penguasa bertanggung jawab atas perlindungan terhadap rakyat. Dengan begitu, rakyat bukan saja sejahtera, namun akan diberikan pula jaminan keamanan.
Penguasa dalam Islam wajib memberikan kebijakan yang tidak mempersulit rakyatnya. Ketika terdapat kebijakan yang salah, Majelis Umat akan hadir memberikan muhasabah, mengontrol dan mengoreksi penguasa. Selain itu, dalam sistem Islam tidak akan ada pengabaian terhadap kebutuhan rakyat karena adanya rasa khouf (takut kepada Allah) pada diri penguasa dan karena adanya kesadaran bahwa pemeliharaan rakyat akan langsung dipertanggungjawabkan di akhirat. Kehadiran penguasa dalam sistem yang bersandar pada wahyu inilah yang sungguh sangat kita rindukan hari ini.