
Penulis: Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H. (Dosen FH-UMA)
Linimasanews.id—Presiden Prabowo menyampaikan pidato yang menyatakan akan mempertimbangkan memaafkan koruptor karena ingin memberi kesempatan (voor) kepada para koruptor untuk bertaubat. Hal ini disampaikan Prabowo di hadapan mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir, Rabu (18/12).
Dia juga menyampaikan bahwa pemerintah akan membuat mekanisme pengembalian uang hasil korupsi. Selain itu, dia juga menyinggung mengenai pengampunan pajak atau tax amnesty, dan mengimbau semua pihak untuk memenuhi kewajiban pajak serta akan melakukan ‘bersih-bersih’ aparat penegak hukum yang tidak taat (CNNINdonesia, 20/12/2024).
Pernyataan Prabowo itu mendapatkan respons dari berbagai pihak. Salah satunya, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Nasyirul Falah Amru yang menilai usulan tersebut perlu dikaji lebih jauh. Menurutnya, Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaad) menetapkan bahwa pelaku tindak kriminal (pidana) akan dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, koruptor telah melakukan tindak pidana korupsi yang termasuk kategori kejahatan extraordinary, maka harus tetap menjalankan hukuman (CNNINdonesia, 20/12/2024).
Pendapat serupa juga disampaikan oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango yang menyatakan bahwa pengembalian aset atau harta hasil korupsi tidak bisa menghapus pidana yang akan dikenakan kepada pelaku. Hal ini telah diatur secara jelas dalam Pasal 4 Undang-Undang (UU) No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini menjelaskan bahwa pidana terhadap para koruptor tidak akan terhapuskan walaupun pelaku mengembalikan aset yang telah dicuri (Kompas.TV, 22/12/2024).
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Siman juga mempertanyakan efektivitas seruan Prabowo. Menurutnya, mustahil para koruptor akan menyadari kesalahan dan perilaku jahatnya hanya dengan seruan, karena diproses hukum saja mereka mangkir. Bonyamin memaknai seruan tersebut sebagai pendekatan ‘murah meriah’ untuk mengembalikan aset negara melalui mediasi personal dibandingkan melalui jalur persidangan (Metro.TV, 19/12/2024).
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Habiburikhman menyampaikan bahwa pidato Presiden Prabowo sejatinya menyinggung keinginan hukuman bagi koruptor jika mengembalikan uang negara. Politikus Gerindra tersebut menyebutkan, tidak mungkin Prabowo memaafkan koruptor begitu saja, sehingga ia meminta jangan dipelintir seakan Prabowo memaafkan koruptor (Kompas.TV, 22/12/2024).
Ilusi Memberantas Korupsi
Korupsi merupakan tindak pidana yang masuk kategori extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Para pelaku (koruptor) seharusnya diberikan hukuman berat karena selain merugikan keuangan negara, korupsi juga menzalimi rakyat karena uang yang dikorupsi merupakan hak rakyat.
Namun, faktanya hukuman yang diterima koruptor selama ini tidak memberikan efek jera. Solusi yang diberikan hingga saat ini juga bukan solusi yang solutif. Sebelumnya, pemerintah telah membentuk lembaga baru yang memiliki fungsi memberantas tindak pidana korupsi yang bernama KontrasTipikor di dalam lembaga kepolisian. Yaitu, lembaga yang memiliki fungsi yang sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Hal ini memicu pertanyaan, apakah banyaknya lembaga akan menuntaskan korupsi atau malah terjadi timpang tindih tugas dan menambah pengeluaran dana untuk membiayai lembaga-lembaga tersebut?
Di sisi lain, RUU Perampasan Aset yang juga menjadi isu yang terus digaungkan, menurut Juru Bicara KPK, Tessa Mahatdika, RUU ini akan membantu aparat hukum menyita aset korupsi di luar negeri sehingga pengembalian kerugian negara akan lebih maksimal. Namun, pernyataan ini perlu dicermati. Sebab, seakan-akan pemerintah hanya memikirkan untung-rugi yang akan didapatkan dengan adanya pengembalian aset tersebut.
Karena itu, dapat disimpulkan, pemberantasan korupsi merupakan ilusi belaka dalam sistem demokrasi-kapitalis saat ini. Mengapa demikian? Karena sistem ini memberikan hak pada manusia atau sekelompok manusia untuk membuat hukum. Inilah yang menyebabkan hukum tersebut dapat berubah-ubah dan ditafsirkan sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Sistem ini berdiri atas dasar pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) dan berstandarkan untung-rugi. Pengembalian aset ini, misalnya, jelas hanya fokus pada untung rugi yang akan didapat. Bukan dalam rangka memberantas tuntas tindak pidana korupsi. Voor yang diberikan oleh Presiden untuk para koruptor dengan mengembalikan apa yang mereka curi merupakan pernyataan yang tidak adil. Bagaimana dengan pencuri yang tetap dihukum berat karena mencuri sesuatu karena alasan ekonomi untuk sekadar mengisi lambungnya?
Selain itu, sistem demokrasi-kapitalis merupakan sistem yang berbiaya mahal. Menjadi pemimpin dalam sistem ini harus mengeluarkan isi kantong dalam-dalam. Hal ini yang menyebabkan pemimpin terpilih hanya bertindak sebagai regulator yang memuluskan proyek-proyek para pemberi dana (kapital) atau pengusaha yang telah mengeluarkan dana hingga ia menjadi pemimpin. Pemimpin bukan pe-riayah (pengurus) urusan rakyat.
Di sisi lain, meskipun koruptor diberikan hukuman, tetapi hukuman tersebut tidak akan memberikan efek jera. Sebab, meskipun Prabowo tidak menyerukan pengampunan, sistem sanksi dalam sistem demokrasi-kapitalis ini memberikan banyak pengampunan. Misalnya, pemotongan masa tahanan karena peringatan hari-hari besar. Grasi dan Remisi juga bisa diberikan kepada koruptor.
Jika demikian, bagimana koruptor akan menyesali tindakannya? Sanksi penjara yang mereka dapat tidak membuat jera karena selama mereka memiliki uang maka penjara dapat disulap menjadi tempat menginap sementara.
Sistem Islam Solusi Kasus Korupsi
Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi merupakan sebuah sistem hidup yang memiliki aturan lengkap dan terperinci. Sistem Islam berdiri atas dasar akidah Islam yang memancarkan aturan-aturan yang berasal gari Sang Khaliq. Menurut Islam, yang berhak membuat hukum adalah Sang Khaliq.
Dalam sistem sanksi Islam, hukuman bagi koruptor tidak sama dengan ‘mencuri’. Pelaku korupsi disebut khaa’in (pelaku khianat), artinya ia menggelapkan harta yang diamanahkan. Dalam sistem Islam, hukuman bagi koruptor adalah ta’zir (jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim) bukan potong tangan.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ditetapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (koruptor), orang yang merampas harta orang lain dan penjambret.” (HR.Abu Dawud)
Hukuman ta’zir ini bisa berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi ataupun di sosial media), penyitaan harta, dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Dalam memberantas korupsi, sistem Islam memberikan solusi untuk memberantas sampai ke akar-akarnya melalui tiga pilar penegakan hukum yaitu:
Pertama, ketakwaan individu yang mendorongnya untuk terikat pada hukum syarak, sehingga andai ada peluang untuk korupsi, ia akan ingat hal tersebut dapat mengundang murka dari Allah Swt. Kedua, kontrol masyarakat. Kontrol individu maupun masyarakat terhadap individu lain sangat diperlukan karena manusia bukan malaikat, terkadang khilaf dan melakukan dosa.
Karena itu, manusia yang satu memerlukan manusia lainnya untuk mengontrol dirinya, sehingga masing-masing membutuhkan orang lain sehingga bisa saling mengontrol atau muhasabah. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat hedonis yang bermental instan akan cendrung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparatnya. Sebaliknya, masyarakat yang mulia dan kritis akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajak menyimpang.
Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar bin Khathab di awal pemerintahannya pernah menyatakan, “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam maka luruskan akau walaupun dengan pedang”.
Ketiga, negara yang menerapkan syariat Islam secara utuh.
Selain itu, syariah Islam juga memberikan petunjuk tentang mekanisme meminimalkan tindakan korupsi. Di antaranya, sistem penggajian yang layak; larangan menerima suap dan hadiah; dan perhitungan kekayaan. Kekayaan pejabat akan dihitung diawal dan di akhir jabatannya. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, pejabat yang bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaan itu benar-benar halal.
Inilah yang kita kenal saat ini yang merupakan pembuktian terbalik. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Bila pejabat gagal membuktikan bahwa kekayaannya tesebut didapat dnegan cara halal maka Umar memerintahkan pejabat menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada Baitul Maal atau membagi dua kekayaannya itu separuh untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Selain itu dengan metode penyederhanaan birokrasi, dan pemberian hukuman yang setimpal.
Hanya dengan Islam korupsi dapat diberantas sampai ke akar-akarnya, sehingga negeri ini mendapat berkah dari langit dan bumi. Hal ini dapat terlaksana dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam sebuah institusi, yakni Daulah Khilafah Islamiyah bukan dengan sistem demokrasi-kapitalis.