
Oleh: Eni Yulika, S.Pd.
Linimasanews.id—Perjalanan sepanjang tahun 2024 ini banyak diwarnai dengan semakin menurunnya perekonomian masyarakat. Kondisi ini diakibatkan karena banyak perusahaan yang mengalami gulung tikar dan akhirnya melakukan PHK massal. Belum lagi perusahaan yang mengalami pailit yang juga melakukan hal yang sama yaitu merumahkan karyawannya bahkan melakukan PHK juga.
Di penghujung tahun 2024, dikabarkan perusahaan raksasa Sritex mengalami pailit, seperti dikutip dari laman CNBCIndonesia (27/12)_Emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) tengah menumpuk utang hingga dinyatakan pailit. Utangnya pun tersebar di berbagai bank di Indonesia dengan nominal yang berbeda-beda. Mengacu pada laporan keuangan per semester I-2024, liabilitas SRIL tercatat sebesar US$1,6 miliar atau sekitar Rp 25,01 triliun, sementara ekuitasnya telah mencatatkan defisiensi modal sebesar -US$ 980,56 juta.
Liabilitas atau kewajiban utang yang harus dibayar oleh perusahaan ke pihak kreditur. Ekuitas atau kepemilikan harta atau nilai bersih yang dimiliki perusahaan. Melihat nilai ekuitas lebih kecil dibanding liabilitasnya. Seperti pepatah mengatakan lebih besar pasak daripada tiang. Padahal perusahaan besar tersebut mempertaruhkan kehidupan banyak orang. Oleh karena itu, ketika pihak Sritex tidak mampu membayar, maka yang terjadi adalah masuk ke daftar perusahaan yang pailit.
Jadi dengan adanya putusan pailit ini Sritex kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta oleh kurator. Perusahaan hanya bisa mengelola harta kekayaannya apabila menambah jumlah harta kekayaannya. Sritex juga harus melapor terlebih dahulu kepada kurator sebelum mengelola harta kekayaannya.
kurator berarti pengurus atau pengawas harta benda orang yang pailit, anggota pengawas dari perguruan tinggi, pengurus atau pengawas museum, atau orang yang mengelola dan mengawasi sesuatu yang berkaitan dengan koleksi museum, perpustakaan, dan lain-lain
Debitur dapat mengajukan permohonan pailit, apabila mempunyai dua atau lebih kreditur yang tidak dapat menjalankan kewajiban yaitu membayar utang beserta bunganya yang telah jatuh tempo.
Di sini yang perlu disoroti adalah peran negara yang kurang dalam memberikan lapangan pekerjaan. Sehingga kebutuhan akan lapangan pekerjaan disediakan oleh perusahaan yang bukan milik negara. Pastinya perusahaan yang besar membutuhkan modal yang sangat besar. Dalam sistem kapitalis demokrasi hari ini, utang ke pihak bank menjadi jaminan pemenuhan biaya operasional. Ketika meminjam pastinya ada bunga yang juga harus dibayar. Akhirnya ketika terus menerus berutang dan tidak bisa membayar, perusahaan akan kehilangan pijakan untuk bertahan.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam pastinya tidak akan membiarkan perusahaan besar dipegang oleh swasta seorang diri. Negara harus turun tangan dalam membangun dan menjadi penanggung jawab akan keberlangsungannya. Kalaupun ada perusahaan swasta pasti tidak sebesar yang dimiliki negara. Karena, negara harus bertanggung jawab terhadap kehidupan warga negara dan keamanan negara.
Begitu pula sumber pemasukan negara tidak boleh dengan meminjam bank seperti saat ini. Karena islam mengharamkan riba. Inilah pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang harus diprivatisasi oleh negara bukan dikelola oleh negara lai atau pihak swasta. Dengan pemasukan dari sumber daya alam yang ada, negara mampu mengelola perusahaan besar sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi warganya bukan diberikan tanggung jawab itu kepada pihak individu atau kelompok pengusaha. Semua ini bisa teratasi ketika kita mengambil Islam sebagai solusi praktis dalam ranah pemerintahan yang dikenal dengan sebutan Khilafah.