
Oleh: Shabrina Nibrasalhuda (Mahasiswi)
Linimasanews.id—Pemerintah makin mendorong penerapan konsep moderasi beragama pada generasi muda. Melalui Kementerian Agama (Kemenag) sebagai sektor utama program ini, pemerintah mendirikan Rumah Moderasi Beragama (RMB) di berbagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), termasuk di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Selain itu, program ini juga diterapkan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), seperti Universitas Brawijaya (UB) melalui Unit Pengembangan Kepribadian Mahasiswa (UPT PKM) yang meluncurkan “Griya Moderasi Beragama” di Gazebo Raden Wijaya pada Rabu, 11 Desember 2024.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pemerintah menetapkan moderasi beragama sebagai salah satu program prioritas. RMB diharapkan menjadi solusi dalam menangani potensi konflik yang terkait dengan isu agama di berbagai daerah di Indonesia. Pendirian RMB di sejumlah PTKI disebut-sebut sebagai langkah inovatif untuk menciptakan harmoni antarumat beragama.
Kendati demikian, konsep moderasi beragama ini tidak luput dari kritik, khususnya dari kalangan umat Islam. Kritik tersebut menyoroti landasan pemerintah yang dianggap kurang jelas mengenai isu intoleransi, serta memandang moderasi beragama sebagai bentuk perang ideologi yang berpotensi melemahkan akidah umat Islam, khususnya generasi muda, dan mengaburkan pemahaman akidah yang benar bagi kaum Muslim.
Menilik Gagasan Moderasi Beragama
Suatu gagasan dapat dianggap ilmiah jika pengusungnya mampu memberikan alasan yang tepat dan rasional. Dalam konteks moderasi beragama, para penggagasnya berpendapat bahwa identitas agama sering menjadi dasar fundamentalisme yang menolak nilai-nilai kebenaran dari kelompok lain. Untuk menunjukkan pentingnya moderasi beragama, mereka menyatakan bahwa fundamentalisme dan fanatisme berlebihan terhadap agama (terutama Islam) dianggap mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Melalui manipulasi istilah, kata “fundamentalisme” disandingkan dengan “radikal” yang telah diberi konotasi negatif. Hal ini menciptakan ketidaknyamanan bagi umat beragama, khususnya Muslim yang teguh memegang ajaran agamanya. Ketidaknyamanan ini, ditambah dengan kurangnya pemahaman umat terhadap perang pemikiran yang tersembunyi di balik istilah tersebut, menempatkan mereka dalam dilema. Ketika ingin teguh menjalankan syariat Islam secara kafah, mereka harus siap dicap sebagai radikal atau fundamentalis.
Akibatnya, umat cenderung bersikap defensif dan apologetik, merespons tuduhan terhadap Islam dengan cara yang kurang tepat. Contohnya, ketika Islam dituduh mendukung pemerintahan yang kejam dan suka berperang, sebagian umat justru menyangkal bahwa Islam memiliki konsep pemerintahan. Padahal, kitab-kitab klasik Islam secara jelas membahas konsep pemerintahan Islam, yaitu khilafah. Sikap apologetik ini justru makin mengaburkan ajaran Islam yang sebenarnya sudah jelas tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah.
Selain itu, gagasan moderasi beragama sering kali melahirkan konsep turunan seperti pluralisme beragama. Para pendukung moderasi berpendapat bahwa keragaman agama harus disatukan melalui semangat pluralisme, yang memandang semua agama setara. Ide pluralisme ini bertujuan menghilangkan klaim kebenaran (truth claim) yang dianggap sebagai pemicu ekstremisme, radikalisme, dan konflik atas nama agama. Namun, pluralisme cenderung mengabaikan ajaran hakiki dari setiap agama, dan secara tidak langsung mengarahkan umat untuk menyamakan keyakinan agama mereka.
Di balik gagasan moderasi ini, ada upaya untuk melemahkan militansi beragama umat Islam dan mengarahkan mereka agar menerima pemahaman Islam yang moderat. Dengan melibatkan generasi muda dan cendekiawan Muslim yang pikirannya telah terpengaruh, pihak-pihak tertentu melancarkan perang pemikiran melalui kebijakan yang terintegrasi dengan negara. Sayangnya, pendekatan ini justru dapat memperkeruh hubungan antarumat beragama dan menciptakan keretakan di antara umat seagama.
Realitas menunjukkan bahwa keberagaman di Indonesia telah ada sejak dulu dan tetap harmonis tanpa intervensi gagasan moderasi. Justru, gagasan moderasi yang berlandaskan isu intoleransi ini telah memicu ketegangan baru di masyarakat. Bahkan, banyak generasi muda yang akhirnya meragukan keyakinan agama mereka, hingga memilih menjadi agnostik atau ateis.
Sistem sekuler yang diterapkan saat ini juga memiliki peran dalam mengabaikan nilai-nilai agama, dengan menganggap agama hanya urusan privat. Sekularisme ini, yang berasal dari konflik di Barat, kini diadopsi untuk menghalangi kebangkitan Islam kafah, termasuk dalam bidang pemerintahan. Upaya seperti kampanye deradikalisasi dan proyek moderasi beragama, termasuk pendirian Rumah Moderasi Beragama (RMB), menjadi bagian dari strategi untuk mencegah kebangkitan Islam kafah.
Proyek moderasi ini didukung oleh lembaga think tank Barat seperti RAND Corporation, yang memetakan kelompok Muslim untuk membentuk jaringan Muslim moderat. Mereka bahkan menyediakan dana besar untuk program-program pendidikan, pelatihan, dan penelitian yang bertujuan menanamkan pemahaman Islam moderat.
Konsep Toleransi dalam Islam
Umat Islam perlu menyadari aktor-aktor di balik proyek moderasi ini agar dapat bersatu menghadapi tantangan dan menghadirkan solusi toleransi yang sesuai dengan syariat Islam. Kesadaran ini penting untuk melindungi ajaran Islam yang sahih dari pengaburan dan melemahkan pengaruh pihak-pihak yang ingin menghapus nilai-nilai Islam kaffah.
Islam menawarkan konsep toleransi yang khas dan jelas, yang berakar pada ajaran syariat. Prinsip ini menjadi pedoman dalam mengelola hubungan antaragama di masyarakat, termasuk di lingkungan kampus. Dengan menerapkan toleransi menurut ajaran Islam, setiap individu dapat memahami dan menjalankannya secara bijaksana.
Toleransi dalam Islam didasarkan pada aturan syariat yang unik, karena Islam menetapkan hukum-hukum spesifik sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Pedoman ini membantu umat Islam menciptakan hubungan sosial yang harmonis dan adil di tengah masyarakat.
Selain memahami aspek fikih tentang toleransi (tasamuh), umat Islam juga perlu menyadari adanya upaya untuk mengurangi pemahaman mereka terhadap Islam secara menyeluruh (Islam kaffah). Salah satu caranya adalah melalui gagasan moderasi beragama, yang kerap dimaknai sebagai sikap “pertengahan” (tawassuth) dan “toleran” (tasamuh), tetapi kadang menyimpang dari esensi ajaran Islam.
Sebenarnya, konsep ummatan wasathan dalam Islam merujuk pada umat pilihan yang adil (khiyaran ‘udulun), yakni umat yang menjalankan ajaran Islam secara utuh, bukan yang menyimpang darinya. Dalam Surah Al-Kafirun, Allah dengan tegas menunjukkan batasan toleransi: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Ayat ini menekankan pentingnya menghormati keyakinan orang lain tanpa mencampuradukkan ajaran.
Islam menjunjung tinggi keadilan dan menolak segala bentuk kezaliman, termasuk melanggar hak-hak nonmuslim. Dalam Surah Al-Mumtahanah [60]: 8, Allah berfirman: “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Islam juga melindungi nonmuslim yang hidup damai bersama umat Islam, seperti kafir dzimmi (yang dilindungi), musta’man (yang meminta perlindungan), dan mu’ahid (yang terikat perjanjian). Pembunuhan terhadap mereka dilarang keras, dan pelanggaran terhadap aturan ini akan dihukum sesuai hukum negara. Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang membunuh seorang kafir dzimmi, ia tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga itu tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR An-Nasa’i).
Islam memberikan kebebasan bagi pemeluk agama lain untuk menjalankan ibadah mereka selama tidak melanggar aturan yang berlaku di ruang publik. Kebijakan ini bertujuan menjaga harmoni sosial sekaligus melindungi keyakinan umat Islam. Di bawah sistem pemerintahan Islam, hubungan antarumat beragama diatur secara adil agar semua pihak bisa hidup damai dan saling menghormati.
Untuk menciptakan kerukunan sejati, peran negara Islam sangat penting sebagai institusi yang menjamin keadilan dan menegakkan aturan. Generasi Muslim perlu memahami konsep toleransi ini sebagai bagian dari ajaran Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Dengan mengamalkannya, umat Islam dapat berkontribusi pada perdamaian dan kesejahteraan dunia.