
Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd. (Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
Linimasanews.id—Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengungkapkan bahwa hutan bisa menjadi cadangan pangan, energi, dan air (Kompas.com, 30/12/2024). Pemerintah pun berencana membuka lahan hutan cadangan seluas 20 juta hektare untuk sumber ketahanan pangan, energi dan air (bisnis.com, 2/1/2025). Jika diperbandingkan, luas hutan yang akan dibuka tersebut hampir dua kali luas pulau Jawa yang memiliki luas 128.297 kilometer persegi atau 12,28 juta hektare.
Selain itu Presiden Prabowo Subianto juga menyatakan, Indonesia perlu menambah penanaman kelapa sawit tanpa takut dinilai membahayakan dan menyebabkan deforestasi. Prabowo berpandangan tuduhan bahwa lahan sawit menyebabkan deforestasi adalah keliru karena menurutnya kelapa sawit juga menyerap karbondioksida.
Rencana dan pernyataan tersebut berpotensi menimbulkan keresahan. Pasalnya, sejak zaman Presiden Soeharto hingga Jokowi, banyak program food estate gagal. Banyak tanaman yang tidak optimal pertumbuhannya, hutan yang sudah digunduli terbengkalai, bahkan ada yang berubah menjadi kebun sawit.
Walhi menilai pernyataan Presiden Prabowo anti sains dan rentan melegitimasi pendekatan keamanan di bisnis sawit. Bahkan, telah banyak laporan akademisi yang menyatakan dampak buruk konversi hutan menjadi lahan sawit, seperti hilangnya keanekaragaman, perubahan pada ekosistem hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, erosi tanah dan banjir, kelangkaan air dan dampak ekologis lainnya. Tidak jarang juga, konversi hutan menjadi lahan sawit merampas ruang hidup masyarakat.
Sungguh menyesakkan. Berbagai kebijakan penguasa hari ini tampak tidak mementingkan urusan rakyat. Program yang sudah terbukti gagal dan merusak hutan terus digaungkan seolah-olah untuk rakyat. Inilah kebijakan yang dihasilkan dari sosok pemimpin dalam sistem kapitalisme.
Sistem kapitalisme melahirkan penguasa korporatokrasi, kekuasaan digunakan untuk mempermudah urusan bisnis, penguasa bersikap populis otoritarian agar tetap terlihat berpihak pada rakyat. Padahal, yang menikmati keuntungan dari program tersebut tidak lain adalah swasta. Buktinya, swasta menjadi pihak terbesar yang mengelola lahan sawit. Berdasarkan data Kementerian Pertanian Republik Indonesia 2020, total lahan sawit perusahaan swasta mencapai 54,4%. Proyek-proyek food estate juga tidak jarang menggandeng investor. Maka, selama sistem kapitalisme ini eksis, selama itu pula pemimpin akan mencurangi rakyat.
Kondisi ini sangat berbeda dengan profil pemimpin di dalam sistem Islam. Pemimpin dalam sistem Islam adalah sosok-sosok yang sangat memahami perannya sebagai seorang pemimpin. Dalam Islam, pemimpin harus menjadi raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya, sehingga segala kebijakan akan disandarkan pada kemaslahatan rakyat. Peran pemimpin seperti ini harus diemban oleh individu yang level keshalihannya tidak sebatas secara individu, tetapi sebagai seorang pemimpin.
Seorang mujadid sekaligus mujtahid mutlak, Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya yang berjudul Asy-Asyakhshiyyah Islamiyyah jilid 2 pada bab “Tanggung Jawab Umum” menjelaskan, Ash Syari’ (Allah dan Rasulullah) telah membatasi tanggung jawab umum yang wajib dipenuhi oleh penguasa terhadap rakyatnya. Bentuk tanggung jawab umum pemimpin tersebut adalah wajib memerintah rakyat dengan syariat Islam saja, tanpa hukum yang lain. Dia juga tidak menyentuh harta kekayaan milik umum sedikit pun, serta senantiasa memperhatikan rakyatnya dengan memberikan nasihat. Bahkan ,jika pemimpin tidak menghiraukan perintah syariat dan menipu rakyat, maka Allah dan Rasul-Nya telah memberi kecaman yang keras.
Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar, dia berkata, Aku mendengar Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ‘Tidak seorang hamba pun yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu dia tidak memperhatikan mereka dengan nasehat, kecuali dia tidak akan mendapatkan bau surga’.” (HR. Al- Bukhari)
Tanggung jawab umum ini akan membuat sosok pemimpin benar-benar menjadi raa’in dan junnah untuk rakyat. Dia tidak akan bermesraan dan bermanis muka di depan para oligarki demi eksistensi kekuasaan dan kekayaan. Kebijakan yang diambil pemimpin (khalifah) ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Dia tidak memberi nasihat dengan pernyataan manis agar masyarakat menormalisasi deforestasi hutan menjadi perkebunan sawit. Sebaliknya, akan berpikir dengan 1000 pertimbangan terkait alih fungsi hutan. Sebab, Asy-Syari’ telah menetapkan syariat pengelolaan hutan.
Secara fakta, hutan adalah salah satu sumber daya alam. Dalam Islam, sumber daya alam (SDA) ini dikategorikan sebagai harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal, yakni air, padang gembalaan, dan api.” (HR Ahmad)
Dari hadis tersebut, Syekh Abdul Qodir Zallum dalam kitabnya yang berjudul Al Amwal ad- Daulah al-Khilafah menjelaskan, “Jika hutan dikonotasikan dengan padang gembalaan karena termasuk harta milik umum, maka pengelolaan hutan harus mengikuti kaidah pengelolaan harta milik umum.”
Syeh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya “Nizhamul Iqthishadi fii al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) menjelaskan, “Harta milik umum hanya boleh dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat selaku pemiliknya. Negara tidak boleh memberikan kewenangan pengelolaan kepada swasta.” Jadi, seandainya hutan perlu dikonversi untuk keperluan pangan atau energi, negara akan mengalkulasi kebutuhan tersebut dengan melibatkan banyak pakar.
Tidak hanya itu, negara juga akan mempertimbangkan aspek ekologis agar konversi lahan tersebut tidak menimbulkan dharar (bahaya) bagi rakyat, seperti kekeringan air, banjir, longsor, peningkatan karbon dan sejenisnya. Namun, sebelum hal itu dilakukan, pemimpin Islam akan mengoptimalkan lahan pertanian untuk ketahanan pangan.
Pemimpin dalam Islam adalah pemimpin yang juga akan mengelola sumber daya alam tambang untuk pemenuhan kebutuhan energi rakyat. Seperti inilah profil pemimpin dalam sistem Islam (khilafah). Bukankah pemimpin seperti ini yang dibutuhkan oleh masyarakat?