
Oleh: Ita Ummu Maiaa
Linimasanews.id—Pergaulan bebas marak terjadi di negeri ini. Atas nama kebebasan berekspresi, para remaja yang masih belia merasa berhak menentukan arah hidupnya sendiri, melampiaskan rasa suka kepada siapa saja sesuka hatinya. Mereka belum memahami atas tanggung jawab dari perbuatannya itu bisa berdampak pada hamil di luar nikah hingga memicu tindak kejahatan lainnya.
Sebagaimana yang terjadi di Kota Bogor. Telah ditemukan mayat bayi perempuan sekira pukul 07.00 WIB di pinggir Sungai Cisadane, Kelurahan Panaragan, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor (detiknews.com, 23/12/24). Diduga hal itu akibat pergaulan bebas.
Pergaulan bebas kerap menjadi pemicu adanya aborsi, pembuangan bayi, dan sebagainya. Tindakan tersebut merupakan perbuatan yang biadab. Sebab, anak-anak terlahir harusnya mendapatkan perlakuan yang layak. Mereka adalah generasi penerus bangsa, tidak semestinya dirampas hak hidupnya.
Ketertarikan antara laki-laki dan perempuan memang hal yang fitrah. Namun, itu bisa tidak terkendali jika tidak seseorang memahami batasan-batasannya menurut aturan Allah. Memahamkan batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan sesuai syariat harus dimulai sejak dini dengan pembiasaan menanamkan rasa malu pada anak ketika terlihat atau melihat bagian tubuh yang seharusnya tidak terlihat. Pengenalan diri atas tubuh, memberikan pemahaman batasan interaksi lawan jenis pada anak akan memberikan ruang bagi anak untuk menyalurkan energinya yang masih prima secara optimal.
Dalam hal ini, pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk pola pikir dan pola sikap anak. Baik pendidikan dalam keluarga, masyarakat dan negara. Pendidikan keluarga adalah yang pertama dan utama karena anak terlahir dan berinteraksi awalnya adalah dari anggota keluarganya. Namun demikian, tetaplah harus ada sinergi dengan kontrol masyarakat dan pengaturan negara dalam kebijakan pendidikan, ekonomi, sosial masyarakat, budaya, dan lainnya.
Namun, pendidikan ala kapitalisme sebagaimana saat ini, hanya memandang bahwa anak sebagai aset alat produksi, penunjang jalannya roda perekonomian negara. Dalam sistem ini, kesuksesan hanya dipandang dari segi materi, baik gaji tinggi, jabatan yang bagus, maupun sederet prestasi lainnya.
Dalam sistem kapitalisme, anak tidak mendapatkan penjagaan, baik dari institusi keluarga, masyarakat, dan negara. Penjagaan terbaik mestinya bisa dilakukan oleh institusi negara. Negara mestinya mengelola sumber daya alam dengan baik dan benar sesuai syariat, sehingga rakyat dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan individu dan komunal. Dengan demikian, para orang tua akan mempunyai kesempatan yang luas dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya, menjamin keamanan di tengah masyarakat dengan pengaturan sosial masyarakat yang benar, bukan malah menormalisasi kemaksiatan seperti pergaulan bebas dan sebagainya.
Umat Islam seharusnya merujuk kepada ajaran-ajaran Islam. Dalam hal tumbuh kembang, Islam memandang anak mengalami beberapa fase: usia tamyiz, pra baligh, dan baligh. Usia tamyiz yaitu ketika anak bisa membedakan baik dan buruk karena fungsi akalnya normal.
Sebelum masa tamyiz, anak dalam pengasuhan orang tua, mesti terpenuhi kebutuhan jasmaninya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal yang layak. Di samping itu, terpenuhi juga kebutuhan nalurinya, berupa pembiasaan melihat anggota keluarganya beribadah, mendapatkan limpahan cinta dan kasih sayang, perlindungan, dan sebagainya. Dengan begitu, ketika usia tamyiz (sekitar usia 7 tahun), anak mau beribadah, mengetahui batasan-batasan aurat, mempunyai rasa malu dan mengetahui batasan interaksi dengan lawan jenis dan sebagainya.
Kemudian, baligh sendiri merupakan istilah yang merujuk pada seseorang yang telah mencapai kedewasaan. Pada fase ini, seseorang matang secara biologis dan seharusnya matang juga secara pemikiran. Sebab, di usia ini seorang anak telah mukallaf, yakni memiliki beban untuk menjalankan hukum-hukum syariat.
Karena itu, di usia menjelang baligh, anak mesti dipersiapkan, dengan memberikan pemahaman-pemahaman yang benar berdasarkan Islam tentang tujuan hidup, konsekuensi perbuatan yang dilakukan, serta kontribusi keberadaannya dalam kehidupan. Dengan begitu, ketika anak memasuki usia baligh, ia telah siap menjadi manusia yang bertanggung jawab terhadap Tuhannya, dirinya, lingkungannya, bangsa dan negaranya. Demikianlah pandangan Islam terhadap pendidikan anak agar memiliki integritas. Hal itu bisa tercapai jika semua pilar saling terintegrasi antara individu, masyarakat, dan negara.
Semua pihak semestinya memperkuat akidah anak sejak dini, menanamkan keyakinan terhadap Allah Swt. sebagai Pencipta dan Pengatur kehidupan. Anak mesti mendapatkan teladan yang baik dari orang tua, guru dan masyarakat. Tidak boleh ada pemisahan antara agama dan kehidupan. Sebaliknya, justru kehidupan diatur oleh agama dan agama menjaga kehidupan agar manusia mulia sebagaimana mestinya.