
Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd. (Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
Linimasanews.id—Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana menyatakan telur ayam dan kelor disiapkan sebagai bahan makanan pengganti susu pada program makan bergizi gratis (MBG). Menurutnya, tidak semua peserta penerima makan bergizi gratis akan mendapatkan susu sebagai bagian dari menu mereka.
Program yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto ini akan memprioritaskan penyaluran susu ke daerah-daerah sentra sapi perah. Dadan juga mengungkapkan, program MBG ini direncanakan menjangkau sekitar 3 juta penerima manfaat. Pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap mulai 6 Januari 2025 (cnnindonesia.com, 24/12/2024).
MBG menjadi salah satu program yang ditawarkan kepada rakyat pada masa kampanye pemilihan presiden. Pada awalnya, program ini digembar-gemborkan menjadi solusi untuk mengatasi masalah gizi pada anak. Berbagai ulasan menyertai realisasi program ini, mulai dari wacana anggaran per porsi Rp15.000, akhirnya menjadi Rp10.000 dengan alasan masalah anggaran. Kemudian, mencetuskan susu ikan sebagai pengganti susu sapi di MBG, dan sekarang menjadikan telur ayam dan daun kelor sebagai pengganti susu.
Mengamati berbagai ulasan program MBG ini, publik sudah seharusnya merasakan dan berpikir betapa pemimpin dalam sistem sekuler kapitalisme begitu setengah hati, bahkan terlihat seadanya dan tidak bersungguh-sungguh dalam mengurus rakyat, khususnya menjamin gizi generasi. Hal ini makin dikuatkan pula dengan fakta bahwa tidak semua anak-anak mendapatkan MBG ini.
Pemerintah hanya menjangkau 3 jutaan anak-anak sekolah, sementara menurut data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) murid di Indonesia berjumlah 53,14 juta siswa pada semester ganjil tahun ajaran 2023/2024. Artinya, program MBG tidak sampai menyentuh 1% anak-anak sekolah, padahal jaminan kebutuhan gizi seimbang dan berkualitas harusnya diberikan kepada semua rakyat, bukan generasi tertentu, bahkan dalam jumlah tertentu.
Jaminan tersebut memang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara, jadi negara tidak perlu mengglorifikasi seolah-olah sudah bekerja keras untuk rakyat. Inilah kenyataan hidup di bawah kepemimpinan sistem sekuler kapitalisme, hubungan negara dengan rakyat dibuat layaknya hubungan bisnis, sarat perhitungan untung rugi. Mereka pun menjadi penguasa populis agar hubungan bisnis ini tersamarkan dan seolah-olah penguasa masih mengurus rakyat.
Sangat berbeda dengan sistem Islam, yakni Khilafah dalam menjamin kebutuhan gizi bagi generasi, pemimpin (khalifah) sadar betul amanahnya sebagai pemimpin. Terkait profil pemimpin dalam sistem Islam, Asy-Syari’ (Allah Subhanahu Wa Ta’ala) memberi tanggung jawab kepada seorang khalifah untuk memenuhi hal-hal yang wajib dipenuhi sendiri di dalam dirinya sebagai penguasa, di antaranya adalah kekuatan kepribadian Islam, yakni pola pikir dan pola sikapnya sesuai dengan syariat, takwa, lemah lembut terhadap rakyat, dan tidak menimbulkan antipati.
Hal ini sudah dijelaskan oleh seorang mujtahid mutlak Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Syakhshiyah Al- Islamiyyah jilid II, bab “Tanggung Jawab Umum”. Menurutnya, profil pemimpin yang demikian akan sanggup mewujudkan amanah raa’in (pengurus) bagi rakyat.
Maka, di dalam sistem khilafah, seorang khalifah memastikan kebutuhan gizi warganya terpenuhi dengan baik bukan dengan program-program seperti pemimpin dalam sistem sekuler kapitalisme. Dalam khilafah, mekanisme pertama pemenuhan gizi generasi termasuk dalam tanggung jawab nafkah kepala keluarga. Peran negara adalah memastikan setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan yang layak agar mampu memenuhi kebutuhan pokok keluarga, seperti pangan, sandang dan papan secara layak. Secara konkret, negara berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap warga negara laki-laki yang sudah akil baligh (zero unemployed country).
Berikutnya, negara wajib memastikan tidak ada satu pun warga negara yang kelaparan (zero hunger). Pemastian ini bisa dilakukan dengan banyak hal. Salah satu contoh praktis yang pernah dilakukan oleh khilafah adalah menyediakan makanan-makanan gratis bagi warga negaranya. Misalnya pada masa Khilafah Abbasiyah, sekolah-sekolah akan menyediakan makanan gratis berupa roti, daging, kue, dan nafkah yang mencukupi kebutuhan seluruh siswanya.
Makanan gratis tidak hanya tersedia di sekolah, di rumah sakit pun juga berlaku demikian. Bahkan, hotel-hotel di masa Khilafah memiliki dapur yang menyediakan masakan untuk setiap musafir yang mampir di hotel, baik ia seorang muslim maupun non-muslim, merdeka maupun budak. Setiap yang menginap diberi jatah tiga uqiyah roti atau sebanding dengan 1 kg roti, 250 gram daging yang telah dimasak, satu piring makanan, dan lain sebagainya.
Tentu hal ini menjadi sangat luar biasa, bahkan tidak bisa ditandingi oleh sistem kapitalisme. Khilafah juga akan membangun secara mandiri setiap infrastruktur dan food supply tanpa bergantung pada investor swasta atau asing. Berbagai departemen kemaslahatan umum (mashalihul naas) diadakan, termasuk untuk menjaga kualitas pangan di tengah masyarakat.
Walhasil negara Khilafah dengan profil pemimpin raa’in terbukti mampu menjamin kebutuhan gizi setiap warga negaranya, tanpa terkecuali. Inilah keberkahan yang akan didapatkan tatkala masyarakat dan pemimpin taat kepada Allah dan rasul-Nya. Tidakkah umat menyadari hal ini dan rindu pada penerapan sistem khilafah?