
Oleh. Adeeva Dzakiya
(Aktivis Muslimah)
Linimasanews.id—Pada Juli 2024 lalu, pemerintah melakukan pengukuran serentak untuk Survei Status Gizi Indonesia, hasilnya menunjukkan sebanyak 5,8 juta anak mengalami masalah gizi. Hal inilah yang kemudian mendorong pemerintah untuk mengadakan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Harapannya program ini dapat menjadi solusi dalam memperbaiki gizi anak negeri. Program ini awalnya dibawa oleh Presiden RI saat ini, Bapak Prabowo Subianto, ketika masa kampanye pemilihan presiden 2024 lalu.
Dalam kampanyenya, disebutkan bahwa anggaran setiap porsi makan adalah Rp15.000. Sayangnya, dalam tahap persiapan program, pemerintah memotong anggaran MBG menjadi Rp10.000/kotak bekal dengan alasan adanya keterbatasan anggaran. Mirisnya, mengutip dari KOMPAS.Com, dipertimbangkan anggaran Makan siang gratis (MBG) akan dipotong hingga Rp7.500/kotak bekal. Alhasil, mulai muncul banyak kontroversi di tengah masyarakat terkait keseriusan pemerintah dalam menerapkan program MBG.
Per Januari 2025 ini, program MBG mulai direalisasikan secara bertahap di beberapa daerah. Bukannya mereda, kontroversi MBG makin memanas di tengah masyarakat. Pasalnya, muncul isu susu kotak MBG akan diganti dengan telur-daun kelor (24/12). Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi karena alokasi dana yang sangat ditekan. Selain itu, terdengar kabar tidak menyenangkan dari beberapa daerah yang sudah menjalankan program MBG ini
Kontroversi semakin menjadi-jadi tatkala cuplikan ketidakpuasan masyarakat banyak beredar di media sosial. Video yang beredar umumnya menampakkan isi kotak makan yang berisikan makanan seadanya. Bahkan ada juga beberapa dari makanan tersebut yang sudah tidak layak dikonsumsi. Ditambah lagi, masyarakat mulai menapaktilasi janji kampanye dan membandingkannya dengan realitas yang ada.
Melihat apa yang terjadi pada program MBG ini, wajar apabila masyarakat menilai adanya ketidakseriusan pemerintah dalam menepati janjinya. Pemerintah terlihat setengah hati dan seadanya dalam mengurus permasalahan rakyat, khususnya masalah terkait jaminan gizi generasi. Ketidakseriusan ini makin terasa ketika pemerintah memutuskan program MBG hanya diberikan pada 5 juta pelajar. Padahal, melansir laman Kemendikbud Ristek, jumlah pelajar di Indonesia mencapai 53,14 juta jiwa.
Fakta tersebut seperti menegaskan bahwa program ini eksklusif untuk segelintir orang. Padahal, seharusnya negara menjamin kebutuhan gizi seimbang dan berkualitas bagi semua rakyatnya. Jaminan ini harusnya tidak terbatas pada generasi, apalagi jumlah penerimanya. Maka dari itu, sudah seharusnya pula pemerintah tidak merasa “berbangga diri” atas apa yang sudah dilakukannya, seolah-olah sudah bekerja keras dan memberikan yang terbaik untuk rakyatnya.
Situasi ini, lagi-lagi memperjelas potret asli sistem pemerintah kapitalisme. Hubungan negara dengan rakyat dibuat layaknya hubungan bisnis yang sangat mempertimbangkan untung-rugi. Sangat berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yang sangat menjamin kebutuhan gizi seimbang dan berkualitas bagi rakyatnya karena pemimpin wajib menjadi raa’in bagi rakyatnya.
Dalam sistem pemerintahan Islam, jaminan kebutuhan gizi seimbang dan berkualitas bukan berbentuk program-program seperti yang ditawarkan pemerintah kapitalisme. Regulasi pertama pemenuhan gizi generasi dalam sistem Islam termasuk dalam tanggung jawab nafkah kepala keluarga. Maka, negara harus memastikan setiap kepala keluarga memiliki penghasilan yang layak agar mampu memenuhi kebutuhan pokok keluarga, seperti sandang, pangan, dan papan secara layak. Negara harus berstatus sebagai zero unemployment country.
Negara juga wajib memastikan tidak ada satu pun warga negara yang mengalami kelaparan (zero hunger country). Praktik pemenuhan kewajiban ini sudah pernah dicontohkan oleh sistem pemerintahan Islam sebelumnya, yaitu dengan menyediakan makanan-makanan gratis bagi warga negaranya. Misalnya pada masa Khilafah Abbasiyyah, sekolah-sekolah akan menyediakan makanan gratis berupa: roti, daging, kue, dan nafkah yang mencukupi kebutuhan seluruh siswanya. Selain itu, makanan gratis pun dapat dijumpai di rumah sakit, hotel-hotel. Siapa saja bebas mengambil makanan ini, tidak peduli muslim atau nonmuslim, merdeka maupun budak, pria atau wanita.
Dengan demikian, Khilafah menjadi satu-satunya sistem pemerintahan yang dapat memberikan solusi konkret terkait jaminan kebutuhan gizi seimbang dan berkualitas. Maka, sudah seharusnya rakyat sadar bahwa “melanjutkan kembali kehidupan Islam” adalah jalan yang benar menuju kemaslahatan bersama.