
Oleh: Devy Rikasari
Linimasanews.id—Sejak tahun 1960, setiap tanggal 25 Januari, negeri ini memperingati Hari Gizi Nasional. Peringatan ini merupakan momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya asupan gizi seimbang. Tema HGN tahun ini adalah “Pilih Makanan Bergizi untuk Keluarga Sehat”. Tema ini menekankan pada upaya peningkatan kesehatan yang dimulai dari dapur rumah tangga.
Meski sudah diperingati sebanyak 64 kali, nyatanya kondisi status gizi balita di Indonesia berdasarkan data SKI (Survey Kesehatan Indonesia) 2023, masih sangat memprihatinkan. Banyak balita yang belum mendapatkan gizi yang cukup dan seimbang untuk tumbuh kembangnya. Hal ini dapat dilihat dari angka prevalensi stunting yang masih sangat besar, yaitu 21,5%. Sekitar 1 dari 5 balita di Indonesia mengalami stunting, dengan rentang usia terbanyak 24-35 bulan. Sementara itu, kasus balita kurus masih 7,4%. Selain itu, sekitar 16,9% ibu hamil di Indonesia mengalami risiko kekurangan energi kronis (KEK). Kondisi ini tentunya dapat memengaruhi kesehatan janin dan meningkatkan risiko kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) (aipvogi.org, 10/1/2025).
WHO sebagai organisasi kesehatan dunia telah menetapkan angka prevalensi stunting di bawah 20 persen. Itu artinya, jumlah stunting di Indonesia masih terbilang tinggi jika dibandingkan dengan target tersebut. Negara dengan tingkat prevalensi stunting terbesar di dunia adalah Burundi, sebuah negara miskin yang terletak di kawasan Benua Afrika bagian Timur. Angka stunting di negara ini mencapai 50,9%. Sementara Indonesia menempati peringkat ke-115 dari 151 negara secara global dan peringkat kedua setelah India dalam presidensi G20 (poskota.co.id, 5/2/2024).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, sekitar 9,3 juta anak Indonesia mengalami stunting. Mayoritas mereka berasal dari keluarga miskin. Artinya, kemiskinan sangat berhubungan erat dengan risiko tinggi stunting pada anak. Pasalnya, keluarga yang hidup dalam kemiskinan cenderung memiliki akses yang terbatas terhadap makanan bergizi, air bersih, layanan kesehatan yang memadai, dan sanitasi yang baik. Akibatnya, anak-anak yang hidup miskin sangat rentan mengalami kekurangan gizi dan stunting.
Berkaitan dengan hal ini, Global Finance pada Mei 2024 telah menerbitkan daftar 100 negara termiskin di dunia, dimana Indonesia berada di peringkat ke-90. Peringkat ini didasarkan pada pendapatan nasional bruto per kapita. Tidak kalah mencengangkan, IMF juga telah membuat daftar negara termiskin di Asia Tenggara berdasarkan PDB perkapita tahun 2024. Dari daftar tersebut, Indonesia masuk peringkat ke-7 sebagai negara termiskin se-Asia Tenggara (tempo.co, 13/9/2024).
Kapitalisme Penyebab Kemiskinan Struktural dan Stunting
Indonesia sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alam seharusnya tidak mengalami stunting. Banyaknya angka gizi buruk dan stunting di negeri ini bak peribahasa “bagai tikus mati di lumbung padi”. Penerapan sistem kapitalisme kian hari kian mencekik hidup rakyat. Tingginya harga kebutuhan pokok dan biaya lainnya, dicabutnya beberapa subsidi, serta beban pajak yang sangat tinggi turut menyumbang angka kemiskinan di negeri ini.
Di sisi lain, kebijakan penguasa yang tidak prorakyat makin menambah runyam, misalnya saja ketika petani negeri ini sedang panen raya, pemerintah malah memainkan lagu lama membeli produk impor. Alhasil, banyak petani yang merugi, alih-alih balik modal dan mendapat keuntungan. Sektor-sektor publik pun banyak dikuasai oleh swasta asing. Inilah yang menyebabkan kemiskinan di negeri ini bersifat struktural, bukan hanya individual. Betapa banyak kepala keluarga sudah bekerja keras dari pagi hingga malam namun hasil yang diperoleh masih jauh dari memenuhi kebutuhan.
Inilah tabiat asli dari sistem kapitalisme yang berorientasi pada materi. Siapa yang punya modal (kapital/uang), maka dialah yang berkuasa. Karena itu, dalam sistem ini hubungan antara pengusaha dan penguasa sangat mesra. Tak aneh jika kebijakan penguasa sangat mengutamakan para pemilik modal. Sebaliknya, hubungan penguasa dan rakyat bak pedagang dan pembeli. Sebagai contoh, program MBG (makan bergizi gratis) yang dicanangkan sebagai program unggulan presiden terpilih tahun 2024-2029, Prabowo-Gibran, masih menuai polemik. Bahkan ada wacana dari salah satu pejabat untuk menarik dana dari masyarakat guna pembiayaan program ini.
Solusi Islam Mengatasi Gizi Buruk
Makan makanan yang bergizi adalah investasi jangka panjang bagi kesehatan. Islam sendiri sangat menganjurkan umatnya untuk hidup sehat. Ini dapat dilihat dari hadits Nabi saw. berikut,
اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan”. (HR. Muslim)
Kekuatan yang dimaksud salah satunya dari sisi fisik yang sehat karena fisik yang sehat dan kuat adalah bekal untuk beribadah kepada Allah Swt. Salat, puasa, umrah, haji dan jihad adalah ibadah-ibadah yang sangat membutuhkan fisik yang sehat. Karena itu, Islam menetapkan beberapa aturan untuk menjaga kesehatan masyarakat, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Islam memerintahkan umatnya untuk memakan makanan yang halal dan thayib. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 168,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Dalam tafsir Ibnu Katsir, makanan yang tersedia di bumi boleh dikonsumsi manusia dengan syarat halal dan baik untuk dimakan, tidak berdampak buruk bagi tubuh maupun akal. Makanan bergizi termasuk dalam jenis makanan thayib yang penting untuk dikonsumsi. Ada enam unsur gizi yang terkandung dalam makanan yang diperlukan tubuh, yaitu glukosa, lemak, protein, vitamin, garam, mineral, dan air.
Kedua, Islam memerintahkan seorang ibu menyusui anaknya hingga dua tahun penuh.
وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَۗ
“Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…” (QS. Al-Baqarah: 233)
Telah jamak diketahui bahwa ASI adalah makanan terbaik bagi bayi. Dengan memenuhi hak ASI bagi bayi, maka kesehatan bayi dan anak pun akan terjamin. Tentunya hal ini pun ditunjang oleh kesehatan dan gizi bagi ibu menyusui.
Ketiga, Islam mewajibkan negara menjamin kesejahteraan rakyatnya, termasuk dalam hal pemenuhan pangan. Hal ini dapat disaksikan dalam kitab Sirah Sahabat, bagaimana keteladanan Khalifah Umar bin Khattab ra. yang memanggul sendiri sekarung gandum untuk rakyatnya yang kelaparan. Ketika pembantunya yang bernama Aslam hendak membantunya, Umar berkata, “Aslam, jangan kau jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau bisa menggantikanku mengangkat karung gandum ini, tetapi apakah kau mau memikul beban di pundakku ini kelak di Hari Pembalasan?”
Apa yang dilakukan Umar ini menunjukkan bahwa beliau sangat memahami sabda Nabi saw.,
مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ
“Siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemudian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka Allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat.” (HR. Abu Daud & Tirmidzi)
Sikap Umar yang sangat bertanggung jawab terhadap tugas melayani umat juga diikuti oleh para khalifah sesudahnya. Jika kita menengok sejarah, akan banyak dijumpai keteladanan para khalifah yang akan membuat kita berdecak kagum. Selain pribadi yang takwa dan amanah, jaminan kehidupan yang layak di masa Islam juga dapat dirasakan karena penerapan Islam yang menyeluruh.
Islam mengatur tiga jenis kepemilikan, di mana hal-hal yang menguasai hajat hidup orang banyak haram dikuasai oleh swasta. Negaralah yang berhak mengelolanya dan hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat. Islam juga mengatur terkait perdagangan internasional. Ketika pasokan di dalam negeri sudah terpenuhi, maka keran impor tidak akan dibuka. Hal ini menutup celah persaingan yang tidak sehat antara pengusaha lokal dengan asing.
Selain itu, Islam juga menghapuskan pajak. Tidak ada pajak dalam Islam, yang ada adalah dharibah yang faktanya jauh dari pajak. Dharibah hanya dipungut ketika kas baitul mal dalam keadaan kosong sementara ada banyak hajat yang harus dipenuhi negara. Pemungutannya pun hanya terhadap kaum muslim yang kaya saja dan akan dihentikan ketika kas baitul mal terisi kembali.
Dengan penerapan aturan-aturan ini, terbukti negara Islam sepanjang sejarahnya mampu mensejahterakan rakyatnya, baik muslim maupun nonmuslim. Sebagai contoh, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Saat itu saking sejahtera rakyatnya, ketika Khalifah memerintahkan amil zakatnya untuk membagikan zakat hingga ke Afrika, tak ada seorangpun yang mau menerimanya. MasyaAllah.
Tentu saja kita merindukan masa-masa ketika pemimpin mampu mengurus rakyatnya dengan amanah. Insyaallah ketika itu, bukan hanya persoalan gizi buruk, stunting dan kemiskinan yang dapat diselesaikan, namun persoalan lainpun akan dapat dituntaskan hingga ke akar-akarnya.
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ٩٦
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 96)
Wallahualam bissawab.