
Oleh: Mutiara Aini
Linimasanews.id—Program makan bergizi gratis (MBG) yang diusung presiden terpilih Prabowo Subianto saat ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Dalam program makan bergizi gratis (MBG) ini, pemerintah Indonesia telah menyiapkan dana RP71 Triliun. Anggaran MBG yang tadinya Rp15 ribu mengalami pemangkasan menjadi Rp10 ribu per porsi bahkan akhir-akhir ini berembus kabar akan dipangkas menjadi Rp7.500 per porsi. Turunnya besaran anggaran MBG menunjukkan belum matangnya persiapan baik dari tahapan maupun keuangan.
Dilansir dari cnnindonesia.com (7/1/2025), Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menyebut anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp71 triliun hanya cukup sampai Juni 2025. Angka Rp71 triliun. Itu pun belum mencakup semua anak di Indonesia. Ia mengatakan Badan Gizi Nasional (BGN) juga berencana meminta tambahan anggaran di pertengahan tahun. Mereka hendak mengajukan tambahan Rp140 triliun pada Juni mendatang.
Menteri koordinator bidang perekonomian Airlangga Hartato mengatakan bahwa program makan bergizi gratis (MBG) yang diusung presiden terpilih Prabowo Subianto ini adalah bentuk investasi sumber daya manusia (SDM). Sebab menurutnya, kualitas SDM penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebanyak 82,9 juta orang, yakni meliputi anak sekolah dari PAUD, hingga SMA, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita, akan menjadi penerima program MBG ini. Akan tetapi, masih banyak pihak yang meragukan program tersebut.
Di sisi lain, muncul wacana agar dana zakat bisa dipakai untuk membantu program MBG. Hal ini diungkapkan oleh Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin Sontak usulan tersebut menuai kritik dari banyak pihak. Tetapi ia tidak keberatan dengan kritik dari masyarakat. Bahkan Ia pun merasa tak dirugikan dengan ada diskursus dan kritik imbas usulannya tersebut (cnnindonesia, 17/1/2015).
Politik Pragmatis
Sekilas kita menilai, program MBG ini niatnya memang baik, yaitu untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan anak dan menjadikan siswa bisa lebih fokus dalam belajar, lebih efektif, meningkatkan konsentrasi, dan juga prestasi akademik anak. Akan tetapi, jika nantinya alokasi anggaran tersebut tidak mencukupi dan justru malah terjadi pengurangan. Alih-alih mampu menyelesaikan problem pemenuhan kecukupan gizi, yang ada malah terkesan program tersebut hanya asal jalan saja.
Padahal, di tengah impitan ekonomi yang kian semerawut ini, masyarakat sangat berharap adanya perhatian dari pemerintah, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan gizi anak-anak melalui program makan siang gratis tersebut. Seharusnya, pemerintah Indonesia belajar dari negara yang sudah lama mengadakan program MBG ini. Seperti AS, Finlandia, Jepang, Brazil, India, dan Swedia, bagaimana cara mereka menghadapi tantangan-tantangan serius, seperti kenaikan harga pangan sehingga tidak terjadi pemangkasan.
Namun, inilah realita para pemimpin hari ini yang dilahirkan dari politik pragmatis demokrasi. Penguasa sangat perhitungan dengan rakyat sehingga hubungan rakyat dan pemimpin pun ibarat penjual dan pembeli. Bahkan untuk mendapatkan fasilitas yang layak, rakyat disyaratkan membayar pajak dan sejumlah iuran lainnya.
Sungguh, politik pragmatis telah membutakan hati nurani para penguasa dan menjadikan kekuasaan sebagai ajang berbisnis dalam hal kepentingan rakyat. Penguasa hanya memikirkan diri dan kroninya agar terus mendapatkan keuntungan materi tanpa mempedulikan nasib rakyatnya yang menjadi korban atas kerakusan para pemimpin negara. Miris.
Oleh karena itu, kekecewaan rakyat hari ini seharusnya mampu membuka mata dan pikiran mereka, bahwa segala sesuatu yang dijanjikan saat kampanye hanyalah janji-janji politik tanpa realisasi. Kepercayaan rakyat terhadap penguasa makin terkikis akibat politik pragmatis yang terus diterapkan. Inilah blunder politik pragmatis dalam demokrasi yang sejatinya makin membuktikan sistem ini rusak dan merusak.
Islam Menjamin Kualitas Generasi
Dalam Islam, setiap individu rakyat berhak mendapatkan makanan bergizi. Maka dalam hal ini negara bertanggung jawab penuh dalam mempermudah rakyat mendapatkan akses makanan bergizi, seperti harga pangan terjangkau dan distribusi pangan yang merata ke seluruh wilayah sehingga kelangkaan pangan di salah satu wilayah tidak terjadi.
Maka dari itu, Islam memiliki sejumlah metode dalam memenuhi kecukupan gizi rakyat sehingga stunting akan dengan mudah dicegah. Sederet metode tersebut ditopang oleh kekuatan baitulmal. Jika saat ini, minus APBN tak jarang menjadi kendala dan alasan pemerintah bagi keberhasilan sebuah program, maka tidaklah demikian dengan baitulmal. Baitulmal justru akan kokoh dengan pemasukan yang melimpah dan belanja negara yang sesuai dengan tuntunan syariat.
Pengelolaan SDA akan menjadi kekuatan utama dalam pemasukan baitulmal. Jika pengaturan kepemilikan SDA dikelola oleh negara dengan tidak dikuasai oleh individu apalagi asing, maka pemasukan negara dari SDA akan berpotensi surplus. Tentunya tidak seperti APBN negara bersistem demokrasi yang bertumpu pada pajak dan membiarkan swasta mengelola SDA, sehingga pemasukannya sangat minus.
Ditambah lagi belanja negara yang sesuai dengan syariat sehingga akan mengenal skala prioritas. Negara akan berusaha melakukan pemenuhan kebutuhan pokok individu masyarakat sehingga program-program mengentaskan kemiskinan akan lebih diutamakan, termasuk program-program penunjang berupa penciptaan lapangan kerja sera pengelolaan SDA oleh negara tanpa campur tangan asing.
Hal ini akan banyak peluang untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Terlebih eksplorasi dan eksploitasi SDA membutuhkan SDM yang banyak. Selain itu, negara tidak akan memungut iuran apapun tanpa ketentuan syarak, termasuk pajak. Karena pendapatan baitulmal yang sudah melimpah tidak membutuhkan pajak. Penarikan pajak akan dilakukan jika kondisi baitulmal kosong, maka negara akan memungut pajak hanya kepada orang-orang yang memiliki kelebihan harta, itu pun hanya dari kaum laki-laki.
Tak hanya itu, negara pun akan memberikan fasilitas bagi masyarakat seperti rumah sakit dan sekolah dengan kualitas terbaik, gratis, dan merata di seluruh wilayah sehingga masyarakat mudah mengaksesnya. Dengan mekanisme seperti ini, negara tidak akan kebingungan mencanangkan program dan kebijakan untuk rakyat. Karena penguasa melakukan fungsinya sebagai ra’in (pengurus) dengan penuh tanggung jawab. Negara tidak akan membiarkan generasi memiliki fisik dan psikis lemah.
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan.”