
Oleh: Tsa_bitasoeke
Linimasanews.id—Sepanjang tahun 2024, Provinsi Sumatra Utara (Sumut) mengalami kejadian bencana sebanyak 677 kejadian, yang berdampak terhadap 33 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, kejadian bencana alam yang mendominasi adalah kebakaran hutan dan lahan sebanyak 237 kejadian, dengan luas areal kebakaran hutan dan lahan 2.638, 265 hektare (diskominfo.sumutprov.go.id, 8/1/2025)
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data terbaru terkait kejadian bencana di Indonesia selama tahun 2024. Dari data yang dirilis, terdapat 624 kejadian bencana dengan bencana banjir sebagai kejadian yang paling mendominasi. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) BPBD Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar), selama periode Januari hingga April 2024, tercatat telah terjadi 11 kejadian bencana. Adapun tahun 2025, tercatat Selama 13 hari di tahun 2025, Indonesia sudah mengalami 74 kali kejadian bencana yang didominasi oleh bencana banjir (kompas.com, 13/1/2025).
Adapun sebaran banjir terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Dari ujung barat, banjir merata mulai dari Aceh, Sumatra Utara, Riau, dan Sumatera Selatan. di Pulau Jawa, banjir menggenangi Pekalongan, Tegal, dan Lumajang. Lalu, di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), terjadi banjir, banjir bandang, bahkan tanah longsor di beberapa tempat.
Wilayah berisiko tinggi terlanda bencana alam di Indonesia makin banyak. Di sisi lain, kesiapan pemerintah daerah melakukan langkah mitigasi relatif masih buruk. Lemahnya antisipasi bencana berpotensi besar mengancam keselamatan jiwa, kerugian ekonomi pun kian besar.
Setiap tahun, ribuan peristiwa bencana terjadi di berbagai lokasi di Indonesia. Dari 34 provinsi, delapan di antaranya termasuk dalam kategori bahaya tinggi karena luasnya cakupan area terdampak serta tingginya intensitas bencana di wilayah bersangkutan. Perlu penguatan sistem mitigasi guna mencegah dampak bencana yang lebih besar di delapan provinsi tersebut dan daerah lainnya di seluruh Indonesia.
Banjir menjadi musibah setiap tahun. Semestinya pemerintah melakukan upaya antisipasi dan mitigasi banjir dengan lebih serius. Kelemahan ini membahayakan nyawa masyarakat. Mitigasi lemah tanda negara tidak menjadi raa’in.
Kondisi ini adalah sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalisme. Di mana negara hanya menjadi regulator dan fasilitator yang melayani kepentingan para pemilik modal, sehingga abai pada rakyat. Bencana ini juga akibat pembangunan ala kapitalisme yang memberi ruang kebebasan bagi oligarki mengubah lahan serapan menjadi lahan bisnis, abai atas keselamatan rakyat dan kerusakan alam, karena hanya mengejar pertumbuhan ekonomi. Pernyataan Presiden tentang pembukaan lahan sawit (deforestasi) tidak membahayakan dapat dijadikan sebagai landasan pembukaan lahan, meski para ahli sudah menyatakan deforestasi akan mengakibatkan berbagai masalah termasuk terjadinya bencana.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam mewajibkan negara menghindarkan rakyatnya dari kemudaratan, termasuk bencana. Negara akan melakukan perencanaan matang dalam membangun kota/desa dan berorientasi pada kemaslahatan seluruh rakyat. Negara membangun kota berbasis mitigasi bencana.
Islam telah mengatur konservasi agar ada larangan berburu binatang dan merusak tanaman demi menjaga ekosistem. Islam juga mengharuskan adanya pemetaan wilayah sesuai potensi bencana berdasarkan letak geografisnya, sehingga akan membangun tata ruang yang berbasis mitigasi bencana. Saat mitigasi terwujud, maka seluruh wilayah aman untuk manusia dan alam.
Semua dilakukan oleh negara karena Islam menjadikan penguasa sebagai raa’in dan junnah, termasuk dalam menghadapi bencana. Inilah solusi tuntas bagi penanganan bencana agar tidak lagi menimbulkan korban jiwa dan kerugian. Seharusnya penguasa muslim mengadopsi sistem yang mempunyai mekanisme menjaga manusia dan alam, yaitu Islam. Wallahu a’lam.