
Suara Pembaca
Dalam sepekan terakhir, gas elpiji atau LPG 3 kilogram mengalami kelangkaan di sejumlah wilayah, termasuk di Kelurahan Pasar Manggis, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan (31/01/2025). Hal ini terkait dengan perubahan sistem distribusi LPG yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk mendapatkan stock gas melon untuk dijual.
Sejumlah wilayah di Indonesia mulai merasakan gas elpiji 3 kilogram langka di pasaran. Lantas apa penyebab gas elpiji 3 kg langka? Diketahui, per 1 Februari 2025, pengecer tidak lagi diperbolehkan menjual gas elpiji 3 kg. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan, pengecer yang ingin tetap menjual elpiji bersubsidi harus terdaftar sebagai pangkalan atau subpenyalur resmi Pertamina (02/02/2025).
Langkahnya gas ini membuat rakyat resah, begitu juga dengan kebijakan baru yang tentunya menyulitkan bahkan dapat mematikan bisnis pengecer bermodal kecil dan memperbesar bisnis pemilik pangkalan. Ini kian menjadi bukti bahwa negara abai atas keberlangsungan kehidupan rakyat. Perubahan tersebut adalah keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme, karena salah satu sifat sistem ini adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi. Sistem kapitalisme juga meniscayakan adanya liberalisasi (migas) dengan memberi jalan bagi korporasi mengelola SDA yang sejatinya milik rakyat.
Pada dasarnya, migas termasuk sumber daya alam. Sistem Islam mengatur harta kepemilikan negara, umum, dan individu. Islam juga menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum, dan mewajibkan negara untuk mengelola sumber daya tersebut untuk kepentingan rakyat, sesuai fungsi negara sebagai raa’in. Negara juga memudahkan rakyat mengakses berbagai kebutuhannya akan layanan publik, fasilitas umum, dan sumber daya alam yang merupakan hajat publik, termasuk migas.
Melia Apriani, S.E.
(Aktivis Muslimah, DIY)