
Oleh: Sriyama
Linimasanews.id—Masih menjadi topik hangat belakangan ini akan deretan pagar bambu yang berdiri di perairan Kabupaten Tangerang. Ternyata keberadaannya diketahui sejak Juli 2024 menurut kesaksian warga dan kelompok advokasi sipil yang diwawancarai oleh BBC News (31/1/2025).
Namun, pagar itu baru dicabut oleh pemerintah setelah persoalan ini viral di media sosial. Tak hanya baru dicabut, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid pun baru menjatuhkan sanksi kepada delapan pejabat Kantor Pertanahan Tanggerang yang diduga terlibat kasus pagar laut ini.
Kasus pagar laut ini sejatinya telah jelas ada pelanggaran hukum, namun negara tidak segera menindaklanjuti dan membawa ke ranah hukum. Bahkan, tampak ada beberapa pihak yang dijadikan kambing hitam, sementara otak pelaku tidak tersentuh oleh hukum. Di sisi lain, pejabat sibuk bersilat lidah dan berlepas tangan. Kasus ini tidak ada bedanya dengan kasus penjualan pesisir pantai di berbagai pulau. Hal ini makin menunjukan kuatnya cengkraman korporasi dalam lingkaran kekuasaan atau yang disebut dengan istilah korporatokrasi.
Praktisi hukum yang juga pengamat kebijakan publik, Yus Dharman (31/1) mengatakan, pemagaran ataupun pematokan laut merupakan kejahatan korporasi. Ia meminta pelaku jangan berdalih pemagaran laut yang merugikan nelayan itu bagian dari Proyek Strategis Nasional (BaliPost, 31/1/2025).
Korporatokrasi bisa berkuasa karena negeri ini menerapkan sistem kapitalisme. Sistem yang berasal dari akal manusia ini tegak di atas prinsip kebebasan kepemilikan yang bertujuan untuk meraih sebanyak-banyaknya materi. Oleh karena itu penguasa dalam sistem kapitalisme sebenarnya adalah pemilik modal. Selain itu, sistem kapitalisme juga menihilkan peran negara untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam kapitalisme, sangat terasa liberalisasinya. Kekayaan alam yang seharusnya milik rakyat, dikuasai oleh korporat. Negara terlihat kalah dengan korporat yang memiliki banyak pundi-pundi uang. Bahkan, kerap kali aparat atau pengawal negara menjadi fasilitator kejahatan terhadap rakyat. Mereka bekerja sama melanggar hukum negara, sehingga membuat kesengsaraan bagi masyarakat dan mengancam kedaulatan negara. Kondisi ini membuka lebar korporatokrasi dan munculnya aturan yang berpihak kepada oligarki.
Silih bergantinya kezaliman terhadap rakyat sejatinya akan terus terjadi jika sumber hukum berasal dari akal manusia. Kezaliman hanya bisa dihentikan jika rakyat berada di sebuah negara yang berfungsi sebagai ra’in atau pengurus dan sebagai junnah atau perisai. Sebagai ra’in, negara akan memastikan semua kebijakan akan memberi kemaslahatan kepada rakyatnya, sehingga kehidupan warga menjadi terurus dan terjamin. Sedangkan sebagai junnah, negara akan menjaga dan melindungi warganya dari semua hal yang membahayakan.
Fungsi ini sebagai syariat negara. Hal ini pernah dicontohkan langsung oleh Baginda Rasulullah pada saat Beliau menjadi kepala negara Islam di Madinah. Kepemimpinan negara Islam yang diwariskan Rasulullah ini dikenal sebagai sistem khilafah.
Dalam menyelesaikan masalah pagar laut, Khilafah akan mengembalikan semua pada hukum syariat. Adapun akar masalah pagar laut berkaitan dengan konsep kepemilikan. Islam menjelaskan bahwa sistem ekonomi Islam hanya mengakui tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Secara realitas, laut Tanggerang ini termasuk kepemilikan umum. Sebab, laut termasuk zat yang secara alami mencegah untuk dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan seperti halnya jalanan, sungai, danau, masjid, dan lapangan umum. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada pagar pembatas kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR: Bukhari, Abu Dawud, Ahmad).
Hadis ini menunjukan tidak ada hak bagi seorang pun memberikan batasan. Pagar atau kavling segala sesuatu yang diperuntukan bagi masyarakat umum.
Laut termasuk harta yang digunakan secara berserikat atau bersama berdasarkan hadis, “Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput dan api.” (HR.Abu Dawud)
Maka dari itu, pengelolaan laut berlaku syariat terkait kepemilikan umum, yakni haram dipagari atau dikavling oleh pihak-pihak tertentu. Konsep ini diterapkan oleh negara Khilafah dalam mengatur hak guna laut. Siapa pun yang melanggar maka berlaku baginya sanksi dari negara.
Uqubat atau sanksi dalam Islam tidak tebang pilih. Semua sama di hadapan hukum Islam. Selain itu, pemberian sanksi dalam negara Khilafah tidak menunggu masalah viral terlebih dahulu karena negara berfungsi sebagai junnah atau perisai. Negara akan melindungi hak-hak warga dari kezaliman pihak-pihak tertentu. Semua sikap itu nyata dilakukan karena prinsip dalam kedaulatan dalam negara Khilafah berada di tangan syarak. Prinsip ini mampu mencegah terjadinya korporatokrasi sejak awal.
Berdasarkan hal ini, wajib negara menjalankan aturan Islam saja, bukan aturan yang lain. Oleh karena itu, pengelolaan laut dalam Khilafah mengikuti konsep kepemilikan umum. Negara diharamkan menyentuh harta rakyat ataupun memfasilitasi pihak lain mengambil harta milik rakyat. Inilah solusi tuntas dalam menyelesaikan masalah pagar laut. Seperti inilah solusi syar’i yang seharusnya dirindukan dan disuarakan oleh umat.