
TAJUK BERITA—Sudah menjadi tradisi, setiap menjelang Ramadan, harga kebutuhan pokok meroket tanpa kendali. Beras, minyak goreng, gula, dan cabai mengalami lonjakan harga yang semakin menyulitkan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah. Fenomena ini bukan sekadar masalah teknis pasar, melainkan bukti nyata bahwa sistem ekonomi dan tata kelola pangan di negara ini telah gagal menjamin kesejahteraan rakyat.
Kenaikan harga sering kali dikaitkan dengan peningkatan permintaan selama Ramadan. Namun, jika dicermati lebih dalam, masalah ini lebih kompleks daripada sekadar hukum pasar. Permainan spekulan, penimbunan barang oleh mafia, serta ketergantungan pada impor yang dikendalikan oleh kartel membuat harga sembako tidak stabil. Di balik kenaikan ini, ada segelintir pihak yang meraup keuntungan besar, sementara rakyat semakin tercekik.
Dimensi Politik: Lemahnya Pengawasan dan Kepentingan Elite
Dari sisi politik, kenaikan harga sembako ini menunjukkan bahwa negara tidak memiliki mekanisme kontrol yang kuat terhadap distribusi pangan. Pemerintah cenderung membiarkan pasar bergerak bebas tanpa intervensi yang cukup untuk melindungi kepentingan rakyat. Kebijakan ekonomi yang diambil lebih sering berpihak pada kepentingan elite bisnis daripada masyarakat luas.
Pola kebijakan yang cenderung mendukung impor ketimbang memperkuat produksi dalam negeri menunjukkan adanya ketergantungan yang disengaja terhadap pasar global. Mafia pangan dan kartel mendapat keleluasaan dalam mengendalikan harga, sementara pengawasan terhadap mereka cenderung lemah atau bahkan sarat dengan kompromi politik. Jika negara benar-benar serius ingin melindungi rakyat, mengapa regulasi tegas terhadap kartel dan mafia pangan tak pernah benar-benar ditegakkan?
Di sisi lain, solusi yang ditawarkan pemerintah sering kali hanya bersifat jangka pendek dan populis. Operasi pasar, subsidi, dan bantuan langsung tunai lebih bertujuan untuk meredam gejolak sesaat daripada menyelesaikan akar permasalahan. Hal ini menandakan bahwa kebijakan pangan lebih dipengaruhi oleh kalkulasi politik ketimbang tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat.
Solusi Islam: Negara sebagai Pengatur, Bukan Fasilitator Oligarki
Islam memiliki sistem ekonomi yang lebih adil dan berkeadilan. Negara dalam sistem Islam wajib memastikan ketersediaan pangan bagi rakyat dengan mekanisme distribusi yang transparan dan bebas dari praktik penimbunan. Islam melarang ihtikar (penimbunan) yang menyebabkan kelangkaan buatan serta mencegah adanya monopoli yang merugikan masyarakat.
Selain itu, produksi pangan dalam negeri harus diperkuat agar tidak ada ketergantungan berlebihan pada impor yang sering kali dimanfaatkan oleh segelintir elite. Negara juga bertanggung jawab untuk memastikan harga tetap stabil melalui pengelolaan pasar yang sehat, bukan membiarkan spekulan dan oligarki ekonomi bermain sesuka hati.
Jika sistem Islam diterapkan, lonjakan harga sembako menjelang Ramadan tidak akan menjadi momok tahunan. Negara akan bertindak sebagai pengatur, bukan sekadar fasilitator bagi kepentingan korporasi dan elite bisnis. Harga akan stabil karena distribusi berjalan adil, produksi diperkuat, dan spekulan tidak diberi ruang untuk memainkan pasar. Inilah saatnya masyarakat sadar bahwa masalah ini tidak akan selesai hanya dengan subsidi atau bantuan sementara, tetapi dengan perubahan sistemik yang lebih mendasar. [Lins/OHF]