
TAJUK BERITA—Upaya Amerika Serikat, khususnya di bawah kepemimpinan Donald Trump, untuk mencaplok Gaza bukanlah sekadar kebijakan sesaat, melainkan bagian dari strategi besar yang telah lama dijalankan oleh kekuatan imperialis guna memastikan dominasi geopolitik dan ekonomi mereka di Timur Tengah. Palestina, sebagai wilayah strategis yang berbatasan dengan Mesir, Yordania, dan Laut Mediterania, memiliki posisi yang sangat penting dalam percaturan politik global. Penjajahan yang dilakukan oleh entitas Zionis Israel sejak 1948 bukan sekadar konflik regional, tetapi merupakan proyek kolonialisme modern yang terus mendapatkan dukungan dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Trump, dengan kebijakannya yang terang-terangan pro-Israel, bahkan berani menawarkan konsep pemindahan paksa penduduk Gaza dengan dalih membangun “Riviera Timur Tengah,” yang sejatinya merupakan bentuk pembersihan etnis terselubung guna memperkuat kontrol Zionis di kawasan tersebut.
Sikap pasif dunia internasional terhadap agresi ini menunjukkan bahwa sistem politik global yang dikendalikan oleh kapitalisme liberal telah gagal dalam menegakkan keadilan. Amerika Serikat dan sekutunya menggunakan berbagai instrumen internasional, seperti PBB, Bank Dunia, dan IMF, untuk menekan negara-negara berkembang agar tunduk pada kepentingan mereka. Negara-negara Arab yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membela Palestina justru sibuk mengamankan kepentingan masing-masing. Arab Saudi, misalnya, meskipun dalam beberapa pernyataan resmi menyatakan dukungan terhadap Palestina, pada praktiknya justru mendekati Israel demi memperkuat hubungan ekonominya dengan Barat. Normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab, yang semakin gencar sejak perjanjian Abraham Accords, adalah bukti nyata bahwa penguasa-penguasa Muslim saat ini lebih memilih mengamankan posisi politik mereka daripada membela rakyat Palestina.
Di sisi lain, strategi Amerika dalam konflik Palestina tidak hanya terbatas pada dukungan militer terhadap Israel, tetapi juga mencakup perang ekonomi dan tekanan diplomatik yang sistematis. Bantuan finansial miliaran dolar yang diberikan AS kepada Israel setiap tahunnya bukan hanya untuk mempertahankan superioritas militer Zionis, tetapi juga untuk memperkuat ketergantungan ekonomi negara-negara Arab terhadap Barat. Dengan demikian, setiap upaya perlawanan terhadap kebijakan AS akan berujung pada ancaman sanksi ekonomi yang dapat melemahkan stabilitas negara-negara tersebut. Dalam konteks ini, Palestina tidak hanya menghadapi musuh di medan perang, tetapi juga harus bertarung di arena politik global yang penuh dengan manipulasi dan tekanan dari kekuatan besar.
Lebih jauh lagi, penyerangan dan pendudukan di Gaza yang semakin intensif tidak bisa dilepaskan dari agenda besar AS dan Israel dalam mengontrol jalur perdagangan serta sumber daya energi di kawasan Timur Tengah. Gaza yang memiliki akses langsung ke Laut Mediterania menjadi titik strategis bagi jalur perdagangan global. Jika wilayah ini berhasil dikuasai secara penuh oleh Israel, maka mereka tidak hanya akan mengisolasi Palestina secara total, tetapi juga akan memperkuat pengaruh ekonomi mereka di kawasan. Langkah ini sejalan dengan kebijakan kolonialisme modern yang dilakukan oleh Barat terhadap dunia Islam, di mana negara-negara Muslim dijaga agar tetap lemah dan terpecah belah melalui konflik internal yang diciptakan dan dipelihara oleh kepentingan asing.
Ketidakadilan Global dan Kejahatan Kolonialisme: Palestina di Bawah Bayang-Bayang Barat
Dari sudut pandang geopolitik, dunia saat ini tengah menyaksikan pergeseran kekuatan global dengan meningkatnya pengaruh negara-negara seperti China dan Rusia yang mulai menantang hegemoni AS di berbagai sektor. Namun, meskipun ada perlawanan dari blok Timur, mereka tidak memiliki kepentingan ideologis dalam membela Palestina secara hakiki. Mereka hanya melihat Palestina sebagai alat tawar-menawar dalam rivalitas mereka dengan Barat. Inilah sebabnya mengapa meskipun Rusia dan China beberapa kali mengecam kebijakan AS di Timur Tengah, mereka tetap tidak melakukan tindakan konkret yang dapat menghentikan penjajahan di Palestina.
Sistem kapitalisme global telah menciptakan dunia yang penuh dengan ketidakadilan dan dominasi kekuatan besar atas negara-negara lemah. Selama sistem ini masih berkuasa, penjajahan akan terus berlangsung dengan berbagai bentuknya, baik melalui agresi militer, dominasi ekonomi, maupun manipulasi politik. Inilah mengapa solusi parsial seperti perundingan damai atau resolusi PBB tidak akan pernah bisa menyelesaikan akar masalah di Palestina dan wilayah-wilayah lain yang masih dijajah. Satu-satunya cara untuk menghentikan hegemoni penjajah adalah dengan meruntuhkan sistem yang melanggengkan dominasi tersebut dan menggantinya dengan sistem yang berlandaskan keadilan sejati.
Penjajahan yang terus berlangsung di berbagai belahan dunia, terutama di Palestina, merupakan akibat langsung dari dominasi sistem kapitalisme yang rakus dan hanya mengutamakan kepentingan segelintir elite global. Sistem ini memungkinkan eksploitasi sumber daya, penindasan terhadap bangsa yang lebih lemah, serta persekongkolan antara penguasa zalim dan negara imperialis. Selama sistem ini masih menguasai dunia, ketidakadilan akan terus berulang. Oleh karena itu, solusi Islam harus bersifat paripurna, yakni dengan tegaknya syariat Islam secara kaffah dan hal itu paling memungkinkan jika terdapat intitusi yang menaunginya, yakni Khilafah Islamiyah menurut Islam, yang berfungsi sebagai pelindung umat sekaligus bekerja sebagai penghapus segala bentuk penjajahan.
Politik dalam Islam
Dalam Islam, kepemimpinan bukan sekadar urusan politik, melainkan amanah untuk menegakkan keadilan dan melindungi umat dari kezaliman. Rasulullah menegaskan bahwa seorang pemimpin adalah perisai bagi umatnya, tempat mereka berlindung dan berjuang. Dengan konsep pemerintahan menurut Islam, Khilafah, umat Islam yang saat ini tercerai-berai dalam batasan negara-negara kecil yang mudah dikendalikan oleh kekuatan asing akan lebih mudah dilakukan pemberesan dan seluruh negeri Muslim akan bersatu dalam satu kepemimpinan, menciptakan kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang mampu menghadapi penjajahan. Sistem pemerintahan menurut Islam, Khilafah, secara konseptual menerapkan syariah secara kaffah sehingga setiap kebijakan didasarkan pada keadilan Islam, bukan kepentingan segelintir elite kapitalis. Selain itu, militer Islam akan menjadi tameng bagi kaum Muslim di mana pun mereka berada, memastikan bahwa serangan terhadap umat Islam bukan sekadar isu diplomasi belaka, melainkan serangan terhadap negara Islam yang harus direspons dengan kekuatan nyata.
Kapitalisme memungkinkan penjajahan dengan mekanisme ekonomi yang menjerat bangsa-bangsa miskin melalui utang, investasi, dan eksploitasi sumber daya alam. Dalam sistem pemerintahan menurut Islam, Khilafah, seluruh sumber daya alam akan dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan korporasi asing, sebagaimana Islam menegaskan bahwa air, padang rumput, dan energi adalah milik bersama umat, sehingga tidak boleh dikuasai oleh individu atau perusahaan kapitalis. Riba yang menjadi instrumen utama penjajahan ekonomi akan dihapuskan secara total, sehingga negara-negara Muslim tidak lagi bergantung pada utang luar negeri yang hanya memperbudak mereka. Hubungan luar negeri dalam Khilafah akan berbasis Islam, bukan diplomasi yang tunduk pada lembaga-lembaga buatan Barat seperti PBB yang selalu berpihak kepada penjajah. Jika ada negara yang menyerang umat Islam, Khilafah akan merespons dengan tindakan nyata, bukan sekadar kecaman kosong.
Di samping itu, Khilafah akan mencabut sekat-sekat nasionalisme yang selama ini menjadi alat pecah-belah umat Islam. Islam memandang kaum Muslim sebagai satu tubuh yang tidak bisa dipisahkan oleh batasan negara. Saat ini, para pemimpin negeri Muslim lebih memilih bersekutu dengan penjajah daripada membela saudaranya di Palestina dan wilayah-wilayah lain yang terjajah. Dalam sistem Khilafah, seluruh muslim di dunia akan dipersatukan dalam satu negara tanpa batasan nasionalisme sempit. Baitul Mal, sebagai kas negara, akan digunakan untuk membiayai perjuangan membebaskan tanah-tanah Islam yang masih dijajah, bukan untuk kepentingan segelintir penguasa korup. Para pemimpin yang berkhianat terhadap Islam akan dicopot dan digantikan oleh pemimpin yang benar-benar tunduk pada hukum Allah.
Selain itu, jihad akan menjadi sarana utama dalam melawan penjajahan. Dalam Islam, penjajahan adalah kezaliman yang wajib diperangi, dan jihad merupakan metode yang disyariatkan untuk menghancurkan dominasi penjajah. Rasulullah telah menegaskan bahwa jihad akan tetap berlangsung hingga hari kiamat. Militer dalam sistem pemerintahan Islam, Khilafah, secara konsep pelaksanaannya akan mengerahkan pasukan untuk membebaskan negeri-negeri Islam yang masih berada di bawah cengkeraman penjajah, seperti Palestina, Kashmir, dan wilayah lainnya. Sistem pemerintahan Islam, Khilafah, tidak tunduk pada hukum internasional buatan penjajah seperti resolusi PBB yang selalu berpihak kepada Zionis dan Amerika sebab kedaulatannya berdasarkan syariat Islam. Dengan kekuatan militer yang terorganisir di bawah kepemimpinan yang satu, tidak akan ada lagi penjajahan di muka bumi.
Dari semua aspek ini, jelas bahwa penjajahan tidak akan pernah berakhir selama sistem kapitalisme masih berkuasa. Dengan demikian sistem pemerintahan menurut Islam, Khilafah menjadi hal yang layak dipertimbangkan untuk penegakannya karena akan menghapus segala bentuk penjajahan, menegakkan keadilan, dan menjaga kehormatan umat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, umat Islam harus bersatu dalam perjuangan politik dengan ideologi Islam yang berpandangan bahwa sistem pemerintahan menurut Islam, Khilafah, adalah hal yang memang sudah waktunya tegak. Dengan sistem ini, penjajahan akan benar-benar musnah dari muka bumi, dan keadilan Islam akan menaungi seluruh umat manusia. [Lins/OHF]