
Oleh: Khodijah Ummu Hannan
Linimasanews.id—Korupsi telah menjadi wabah yang menggerogoti negeri ini dari akar hingga pucuknya. Bak parasit yang rakus, ia menghisap kesejahteraan rakyat dan melemahkan fondasi negara. Janji pemberantasan korupsi terus disuarakan, namun kenyataannya praktik busuk ini justru makin marak, merasuk hampir ke semua lini pemerintahan.
Presiden Prabowo Subianto sendiri mengakui bahwa tingkat korupsi di negeri ini sangat tinggi. Bahkan, berdampak langsung pada penderitaan rakyat (Kumparan.com, 14/2/2025). Sayangnya, meskipun berbagai janji pemberantasan korupsi terus digaungkan, kenyataan justru menunjukkan bahwa praktik ini makin meluas.
Data terbaru dari Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa praktik suap dan gratifikasi masih terjadi di lebih dari 90% kementerian/lembaga serta pemerintah daerah. Sebanyak 36% responden internal mengaku pernah menyaksikan atau mendengar pegawai menerima pemberian dalam bentuk uang, barang, atau fasilitas dalam satu tahun terakhir. Hal ini membuat angkanya meningkat 10% dari tahun sebelumnya (KPK, 23/2/2025).
Selain itu, Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) 2024 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan dari 3,92 (2023) menjadi 3,85 (2024). Hal ini menandakan bahwa masyarakat makin permisif terhadap korupsi (BPS, 15 Juli 2024). Bahkan, skandal oknum aparat penegak hukum memeras puluhan warga asing dengan tuduhan narkoba, makin menegaskan bahwa korupsi telah merasuki institusi yang seharusnya menjadi benteng keadilan (Wall Street Journal, 2024).
Data-data ini menjadi bukti nyata bahwa sistem yang diterapkan saat ini gagal memberantas korupsi. Sistem kapitalisme-sekulerisme yang bercokol dalam pemerintahan justru membuka peluang terjadinya korupsi secara sistemis di berbagai bidang dan level jabatan. Sungguh miris.
Kapitalisme-Demokrasi: Pabrik Produksi Koruptor
Korupsi di Indonesia bukan sekadar ulah individu, tetapi merupakan hasil dari sistem yang korup itu sendiri. Dalam sistem kapitalisme, politik dan ekonomi dikuasai oleh oligarki. Pemilihan umum yang membutuhkan biaya besar memaksa kandidat untuk mencari dukungan finansial dari para pemilik modal. Ketika mereka berkuasa, kebijakan yang dibuat tentu lebih menguntungkan para donatur politik dibandingkan rakyat.
Demokrasi yang berlandaskan suara mayoritas justru membuka jalan bagi praktik transaksional dalam politik. Partai politik dan pejabat publik yang didanai oleh oligarki harus membalas budi dengan memberikan akses proyek, konsesi bisnis, hingga regulasi yang menguntungkan. Akibatnya, negara tunduk kepada kepentingan elite ekonomi, bukan kepada rakyat. Akhirnya, korupsi menjadi hal yang sulit diberantas karena para pembuat aturan dan penegak hukum justru sering kali terlibat di dalamnya. Lembaga antikorupsi pun tak jarang menjadi alat politik yang bisa dilemahkan sewaktu-waktu.
Islam Solusi Tuntas Pemberantasan Korupsi
Islam menawarkan sistem yang mampu menutup celah korupsi hingga nol. Dengan penerapan aturan yang tegas dan sistem yang menutup ruang bagi praktik korupsi, kejahatan ini bisa diberantas hingga ke akarnya.
Berikut ini solusi yang ditawarkan Islam:
1. Sanksi Tegas yang Menjerakan
Dalam Islam, korupsi dikategorikan sebagai kejahatan berat karena menyangkut hak rakyat. Hukuman bagi koruptor tidak sekadar penjara yang bisa dikurangi dengan remisi, tetapi lebih berat dan menjerakan, yakni hukuman tazir yang ditetapkan penguasa. Pelaku korupsi bisa dijatuhi hukuman cambuk, penjara seumur hidup, atau bahkan hukuman mati jika dampaknya merugikan rakyat secara luas. Sejarah mencatat bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah memerintahkan penyitaan seluruh harta pejabat yang diperoleh secara tidak sah. Jika tidak bisa mengembalikan, mereka dihukum fisik atau bahkan dieksekusi.
2. Pendidikan Berbasis Ketakwaan
Islam membangun sistem pendidikan yang menanamkan nilai kejujuran dan ketakwaan sejak dini. Kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi setiap perbuatan akan mencegah seseorang melakukan korupsi, bahkan ketika ada kesempatan untuk melakukannya.
3. Pengelolaan Keuangan Negara yang Transparan
Dalam Islam, pejabat publik wajib melaporkan kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. Jika ditemukan ketidaksesuaian, harta yang diperoleh secara tidak sah akan disita. Khalifah Umar bin Khattab menerapkan sistem ini dengan ketat, memastikan bahwa para pejabatnya tidak menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri (Republika, 16/12/2020).
4. Kontrol Sosial dan Mekanisme Muhasabah
Islam memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengawasi pemerintah. Setiap individu memiliki kewajiban untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar, termasuk dalam urusan pemerintahan. Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik jihad adalah berkata benar di hadapan penguasa zalim.” (HR. Abu Dawud)
Selain individu, Majelis Umat dalam sistem khilafah berperan sebagai lembaga resmi yang mewakili rakyat dalam melakukan muhasabah terhadap penguasa. Mereka berhak menanyakan kebijakan, meminta pertanggungjawaban pejabat, serta mengajukan gugatan ke Mahkamah Madzalim jika terjadi penyimpangan, termasuk korupsi. Dengan mekanisme ini, kontrol sosial berjalan efektif dan mencegah penguasa bertindak sewenang-wenang.
5. Pemimpin sebagai Pelayan Rakyat, Bukan Penguasa
Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah, bukan alat untuk mencari keuntungan pribadi. Pemimpin sejati adalah mereka yang melayani rakyat, bukan yang menjadikan rakyat sebagai objek eksploitasi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mencontohkan gaya hidup pemimpin yang sederhana dan bersih dari kepentingan duniawi, berbeda dengan pejabat dalam sistem kapitalisme yang kerap mengumpulkan kekayaan selama menjabat.
Khatimah
Maraknya korupsi di Indonesia membuktikan kegagalan sistem kapitalisme-demokrasi dalam menciptakan pemerintahan yang bersih. Sebaliknya, Islam menawarkan solusi komprehensif dengan sanksi tegas, transparansi keuangan, pendidikan berbasis ketakwaan, dan kontrol sosial melalui muhasabah.
Dalam khilafah, kepemimpinan adalah amanah, bukan jalan untuk memperkaya diri. Hanya dengan menerapkan Islam secara kaffah, korupsi dapat diberantas hingga ke akarnya, mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Allah berfirman, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Ma’idah: 50).
Ayat ini menegaskan bahwa hukum Allah adalah yang terbaik. Sementara hukum buatan manusia penuh dengan kelemahan dan kepentingan. Sudah saatnya umat kembali kepada syariat Islam sebagai satu-satunya solusi untuk menghapus korupsi dan membangun peradaban yang adil serta berkeadaban.