
TAJUK BERITA—Retret kepala daerah kembali menjadi sorotan. Acara yang digadang-gadang sebagai sarana koordinasi dan konsolidasi ini justru menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Bagaimana tidak? Anggaran yang dikucurkan mencapai miliaran rupiah, sementara rakyat di bawahnya masih bergulat dengan persoalan ekonomi yang pelik. Di Magelang, misalnya, retret kepala daerah menghabiskan dana Rp13 miliar untuk fasilitas mewah, mulai dari akomodasi hingga konsumsi. Padahal, di saat yang sama, pemerintah tengah gencar mengampanyekan efisiensi anggaran untuk program-program prioritas seperti MBG (Membangun Bangsa dengan Gotong Royong). Ironis, bukan?
Retret ini dianggap sebagai upaya menyiapkan kepala daerah dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam hal koordinasi dengan pusat dan daerah lain. Namun, banyak yang mempertanyakan urgensi dan manfaatnya. Apakah benar retret semacam ini diperlukan? Faktanya, yang lebih mendesak saat ini adalah konsolidasi dengan jajaran di bawahnya, terutama dalam menghadapi tantangan nyata, seperti persiapan bulan Ramadan, pengaturan stok makanan, dan pengelolaan mudik Lebaran. Alih-alih fokus pada hal-hal substantif, retret justru terjebak dalam seremonial yang boros dan tidak efektif.
Pemborosan anggaran dalam retret ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cermin dari sistem kapitalisme yang menggerogoti tanggung jawab negara terhadap rakyat. Negara yang seharusnya menjadi pengurus rakyat, justru berubah menjadi operator dan fasilitator bagi kepentingan korporasi. Desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah, yang semestinya mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, malah dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan ekonomi segelintir elite. Akibatnya, rakyat makin terpinggirkan, sementara para pejabat sibuk menikmati fasilitas mewah di balik tembok retret.
Di sinilah Islam menawarkan solusi yang lebih adil dan manusiawi. Dalam Islam, penguasa adalah raain (pengurus) rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Sistem Islam menuntut penguasa untuk memenuhi kebutuhan rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Setiap kebijakan harus mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Islam juga mengajarkan prinsip kehati-hatian dalam penggunaan anggaran negara. Pemborosan, apalagi untuk kegiatan yang tidak bermanfaat, adalah bentuk menyia-nyiakan harta yang dilarang oleh agama.
Selain itu, Islam memiliki sistem pendidikan yang mampu melahirkan pemimpin yang siap mengemban amanah. Ketika dibutuhkan pembekalan, Islam menekankan efisiensi dan efektivitas. Pembekalan harus fokus pada konten yang substantif, bukan pada seremonial dan kemewahan yang menghamburkan uang rakyat. Pemimpin dalam Islam juga dituntut untuk memiliki empati terhadap rakyatnya. Mereka harus merasakan penderitaan rakyat dan berusaha sekuat tenaga untuk meringankan beban tersebut.
Retret kepala daerah, dalam bentuknya yang sekarang, jelas tidak sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut. Alih-alih menjadi sarana peningkatan kapasitas, retret justru menjadi ajang pemborosan dan pembenaran atas ketidakpedulian terhadap rakyat. Sudah saatnya para pemimpin kita belajar dari ajaran Islam: memimpin dengan empati, bertanggung jawab, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat di atas segalanya. Jika tidak, retret hanya akan menjadi simbol kegagalan kepemimpinan yang abai pada rakyatnya. [Lins/OHF]