
Oleh. Rosna Fiqliah (Ibu Peduli Generasi)
Linimasanews.id—Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut, remaja yang menderita kesehatan mental sangat tinggi, mencapai 15,5 juta orang atau setara 34,9 persen dari total remaja Indonesia.
Melansir Tempo.co (15 Feb 2025), Wakil Menteri Kementerian Kependudukan Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka mengatakan, generasi muda saat ini memang menghadapi tantangan yang semakin kompleks, salah satunya isu kesehatan mental di kalangan remaja. Menurutnya, ini menjadi keprihatinan bersama, mengingat Indonesia adalah negara yang besar dan penduduk merupakan modal dasar dari pembangunan.
Kegagalan Sistem
Angka 15,5 juta remaja mengalami gangguan kesehatan mental, mesti dipandang bukan sekadar statistik. Ini bukti nyata kegagalan sistem kapitalisme-sekuler liberal yang mengatur kehidupan hari ini. Di samping itu, hilangnya peran negara dalam melindungi kesejahteraan generasi muda.
Kapitalisme menciptakan lingkungan yang kompetitif dan menekan. Dampaknya, individu, termasuk remaja dipaksa untuk berjuang demi nilai ekonomi sejak dini. Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembelajaran dan pengembangan diri, justru berubah menjadi alat produksi tenaga kerja bagi pasar. Hal ini menuntut remaja untuk berprestasi secara akademik, tanpa mempertimbangkan kesejahteraan emosional dan psikologis mereka.
Di sisi lain, sekularisme telah mengikis nilai-nilai agama dan sosial yang dulunya menjadi sandaran moral masyarakat. Ini menyebabkan remaja makin terasing, kehilangan arah, dan mudah jatuh dalam jurang stres serta depresi. Sementara itu, negara gagal menyediakan sistem yang mampu membangun ketahanan mental dan spiritual mereka.
Lebih jauh, sistem liberal menanamkan ide kebebasan individu secara mutlak, yang ironisnya justru melahirkan keterasingan sosial. Di bawah budaya individualisme yang ekstrem, remaja diajarkan untuk mengejar kebahagiaan pribadi tanpa keterikatan yang kuat pada keluarga dan komunitas.
Platform digital, yang dikendalikan oleh korporasi kapitalis, mengeksploitasi ketidakamanan psikologis anak muda dengan membanjiri mereka dengan standar kesuksesan palsu dan tubuh ideal yang tak realistis. Hilangnya peran negara dalam mengatur media dan industri hiburan membuat remaja makin rentan terhadap dampak negatif budaya kapitalis, memperparah krisis identitas dan ketidakpuasan diri.
Sementara itu, solusi yang ditawarkan justru dalam bentuk konsumsi, baik itu barang, jasa, atau bahkan konten media sosial yang makin memperdalam ketergantungan masyarakat terhadap sistem ini. Kapitalisme-sekuler dengan demikian menciptakan masalah, lalu menjual solusi semu yang hanya menguntungkan segelintir elite penguasa ekonomi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kesehatan mental remaja bukanlah masalah yang berdiri sendiri, melainkan konsekuensi sistemis dari kerusakan peradaban kapitalisme sekuler liberal serta absennya negara dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai pelindung rakyat. Alih-alih menyediakan kebijakan yang mendukung kesejahteraan psikologis generasi muda, negara justru berfungsi sebagai fasilitator bagi korporasi yang mengeksploitasi kelemahan mental remaja demi keuntungan ekonomi.
Selama paradigma ini terus mengendalikan kehidupan sosial dan ekonomi, angka gangguan kesehatan mental hanya akan meningkat. Solusi sejati haruslah bersifat struktural, bukan sekadar kampanye kesadaran atau intervensi psikologis yang sifatnya tambal sulam. Masyarakat membutuhkan sistem yang membangun manusia secara holistik. Yakni, yang memandang kesejahteraan mental bukan sekadar tanggung jawab individu, tetapi bagian dari tatanan sosial yang sehat, berbasis nilai-nilai yang melindungi manusia dari eksploitasi dan alienasi.
Tanpa perubahan fundamental ini, remaja akan terus menjadi korban dari sistem yang hanya melihat mereka sebagai roda penggerak ekonomi, bukan sebagai manusia yang berhak atas kehidupan yang bermakna dan sejahtera. Permasalahan ini hanya dapat diselesaikan secara mendasar melalui penerapan sistem Khilafah Islamiyah, yang menjamin kesejahteraan individu dan keluarga secara menyeluruh.
Dalam sistem Khilafah, pendidikan tidak sekadar berorientasi pada pasar kerja, tetapi bertujuan membentuk syakhshiyyah Islamiyyah, yaitu pola pikir dan pola jiwa Islam yang menjadikan generasi muda memiliki ketahanan mental, spiritual, dan orientasi hidup yang jelas. Negara bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, termasuk menyediakan pendidikan dan layanan kesehatan gratis, serta memastikan para orang tua, khususnya ibu dapat menjalankan perannya sebagai pendidik generasi tanpa tekanan ekonomi.
Sistem sosial Islam juga melarang budaya liberal yang merusak, seperti pergaulan bebas dan media sosial yang penuh konten negatif, yang menjadi pemicu utama gangguan mental pada remaja saat ini. Dengan penerapan Islam secara kafah di bawah naungan khilafah, generasi muda akan tumbuh dalam lingkungan yang sehat, stabil, dan memiliki ketahanan mental yang kuat dalam menghadapi tantangan kehidupan.