
TAJUK BERITA—Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terjadi di sejumlah perusahaan besar seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Yamaha Musik Indonesia, KFC, dan PT Sanken Indonesia, merupakan gambaran nyata dari dampak kebijakan ekonomi liberal yang diterapkan di Indonesia.
Ribuan buruh PT Sritex memang telah gembira bisa kembali bekerja dalam 2 minggu kedepan setelah sebelumnya 10.665 pekerja diputuskan menjadi korban PHK. Akan tetapi, krisis ini bukan sekadar persoalan manajemen internal, tetapi menjadi bukti bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan pemerintah telah gagal melindungi keberlangsungan dunia usaha dan kesejahteraan rakyat.
Krisis yang menimpa Sritex bukan hanya disebabkan oleh kesalahan manajemen atau pandemi Covid-19 semata, tetapi juga dipicu oleh kebijakan liberalisasi perdagangan seperti ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) dan Undang-Undang Cipta Kerja. Kebijakan ini membuka lebar masuknya produk-produk tekstil impor dengan harga murah dari Cina, sehingga melemahkan daya saing industri dalam negeri (BBC, 2 Maret 2025). Ditambah lagi, pemerintah hanya berperan sebagai regulator yang tunduk pada kepentingan oligarki, tanpa memberikan dukungan nyata bagi industri strategis nasional.
Kapitalisme yang mendominasi kebijakan ekonomi Indonesia menempatkan negara hanya sebagai fasilitator bagi kepentingan pemodal besar. Model ekonomi ini melahirkan ketimpangan di mana lapangan pekerjaan sangat bergantung pada korporasi besar, sementara negara abai dalam menciptakan iklim usaha yang sehat bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Janji-janji pemerintah untuk menyediakan pekerjaan baru bagi para korban PHK, seperti yang disampaikan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer (Tempo, 28 Februari 2025), hanya menjadi solusi tambal sulam tanpa mengatasi akar persoalan.
Hal ini amat berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Islam menawarkan solusi sistemis yang mampu menciptakan kemandirian ekonomi dan melindungi hak-hak pekerja. Negara dalam sistem Islam berfungsi sebagai pelayan rakyat, bukan sekadar regulator. Dalam kitab yang berjudul Nidzom Iqtishody karya Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, mekanisme seperti pemberian modal usaha (iqtha‘), subsidi bisnis, dan penciptaan lapangan kerja berbasis sektor riil dijelaskan sebagai instrumen negara untuk mendorong ekonomi rakyat. Negara juga memastikan distribusi kekayaan yang adil serta mencegah dominasi oligarki.
Selain itu, Islam melarang praktik liberalisasi yang membuka peluang bagi produk asing membanjiri pasar domestik tanpa kontrol ketat. Kebutuhan dasar masyarakat seperti sandang, pangan, dan papan dijamin oleh negara melalui kebijakan yang berpihak pada produksi dalam negeri. Dengan mekanisme ini, negara tidak hanya menyediakan lapangan kerja, tetapi juga memperkuat industri strategis yang menjadi penopang ekonomi nasional.
Kebangkrutan Sritex dan gelombang PHK massal yang terjadi saat ini adalah konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang berbasis liberalisasi dan kepentingan oligarki. Solusi parsial seperti bantuan sosial atau penyerapan tenaga kerja sementara, tidak akan mampu menyelesaikan persoalan ini secara mendasar. Sistem Islam menawarkan solusi komprehensif yang menempatkan negara sebagai pelindung rakyat, menciptakan lapangan kerja luas, dan menjaga kemandirian ekonomi bangsa karena basis solusinya tidak berdasarkan kepentingan hawa nafsu manusia belaka. Saatnya umat mempertimbangkan penerapan sistem Islam sebagai solusi sistemis untuk keluar dari krisis yang berkepanjangan. [Lins/OHF]