
Editorial—Kasus Minyakita oplosan yang marak di pasaran, seperti yang diungkap oleh Tirto dan Antara News (9/3), bukan sekadar masalah teknis atau pelanggaran regulasi semata. Ini adalah cermin dari kegagalan sistemis negara dalam mengurus hajat hidup rakyat. Ketika minyak goreng curah yang seharusnya menjadi solusi bagi masyarakat miskin justru dicurangi dengan takaran yang tidak sesuai atau dicampur dengan bahan lain, yang terlihat bukan hanya kecurangan korporasi, melainkan juga ketidakberdayaan negara dalam melindungi rakyatnya. Fakta bahwa tiga perusahaan produsen Minyakita harus disegel oleh Kementerian Pertanian menunjukkan betapa rapuhnya pengawasan dan penegakan hukum di negeri ini.
Kasus Minyakita oplosan adalah bukti nyata bahwa distribusi pangan telah sepenuhnya dikuasai oleh korporasi. Di bawah sistem ekonomi kapitalistik, korporasi diberi kebebasan untuk mengontrol rantai pasok dari hulu hingga hilir, dengan tujuan utama meraih keuntungan maksimal. Alih-alih negara menjadi pelindung rakyat, justru berperan sebagai regulator dan fasilitator yang memastikan iklim bisnis tetap kondusif bagi para pemodal. Akibatnya, ketika terjadi kecurangan seperti Minyakita oplosan, negara hanya bereaksi setelah masalah mencuat ke permukaan, tanpa ada upaya pencegahan yang sistematis.
Lebih parah lagi, sanksi yang diberikan kepada pelaku kecurangan sering kali tidak menjerakan. Perusahaan yang ketahuan mengurangi takaran atau mencampur produk hanya diberi teguran atau denda ringan, sementara bisnis mereka tetap berjalan. Ini menunjukkan bahwa sistem kapitalistik tidak dirancang untuk melindungi rakyat, melainkan untuk melayani kepentingan korporasi. Rakyat yang seharusnya menjadi prioritas, justru menjadi korban dari permainan bisnis yang tidak beretika.
Sistem ekonomi kapitalistik dengan prinsip liberalisme telah membuka ruang seluas-luasnya bagi korporasi untuk menguasai sektor-sektor strategis, termasuk pangan. Dalam sistem ini, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat diserahkan kepada mekanisme pasar, yang pada praktiknya dikuasai oleh segelintir pemilik modal. Negara hanya hadir sebagai regulator yang sering kali tunduk pada tekanan korporasi. Akibatnya, rakyat kecil selalu menjadi pihak yang dirugikan: harga melambung, kualitas produk dipertaruhkan, dan distribusi tidak merata.
Kasus Minyakita oplosan adalah contoh nyata bagaimana sistem kapitalistik gagal menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat. Ketika korporasi diberi kebebasan untuk mengontrol distribusi pangan, yang terjadi adalah eksploitasi dan kecurangan. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung, justru abai terhadap tanggung jawabnya. Ini adalah kegagalan sistemis yang tidak bisa diatasi dengan sekadar menegur atau menyegel perusahaan pelaku.
Sistem Islam: Negara sebagai Pelayan Rakyat
Islam menawarkan paradigma yang sama sekali berbeda. Dalam sistem ekonomi Islam, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat adalah tanggung jawab negara. Pemimpin, sebagai raa’in (pengurus umat), wajib memastikan bahwa hajat hidup rakyat terpenuhi dengan baik dan adil. Paradigma ini menempatkan negara sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai kaki tangan korporasi.
Dalam konteks kasus Minyakita oplosan, Islam memiliki mekanisme yang jelas untuk mencegah kecurangan. Pertama, negara harus mengontrol secara ketat rantai distribusi pangan, dari produksi hingga penjualan. Kedua, qadhi hisbah (lembaga pengawas pasar) akan melakukan inspeksi rutin untuk memastikan tidak ada kecurangan dalam takaran, kualitas, atau harga. Ketiga, pelaku kecurangan akan diberikan sanksi tegas, mulai dari denda hingga pencabutan izin usaha, bahkan pelarangan melakukan aktivitas produksi dan perdagangan.
Selain itu, Islam melarang praktik monopoli dan penimbunan (ihtikar), yang sering kali menjadi akar masalah distribusi pangan. Negara juga wajib memastikan ketersediaan stok pangan yang cukup dan harga yang terjangkau bagi seluruh rakyat. Dengan mekanisme ini, kasus seperti Minyakita oplosan tidak akan terjadi, karena negara benar-benar hadir sebagai pelindung dan pelayan umat.
Kasus Minyakita oplosan adalah alarm keras bagi kita semua: sistem kapitalistik telah gagal melindungi rakyat. Korporasi diberi kebebasan untuk mengeruk keuntungan, sementara rakyat dibiarkan menderita. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung, justru abai terhadap tanggung jawabnya.
Solusi atas masalah ini tidak bisa parsial. Mengganti regulator atau menegur pelaku tidak akan menyelesaikan akar masalah. Yang dibutuhkan adalah kesadaran untuk melakukan perubahan secara sistemis: mengganti sistem ekonomi kapitalistik dengan sistem ekonomi Islam yang mengutamakan keadilan, kesejahteraan, dan tanggung jawab negara menurut Islam.
Hanya dengan sistem Islam, negara bisa benar-benar menjadi pelayan rakyat, bukan pelayan korporasi. Hanya dengan sistem Islam, kasus seperti Minyakita oplosan bisa dicegah, dan rakyat bisa hidup sejahtera tanpa khawatir menjadi korban kecurangan. Saatnya umat bangkit dan memperjuangkan sistem Islam sebagai solusi nyata atas segala problem kehidupan. Tanpa ini, rakyat hanya akan terus menjadi korban dari permainan bisnis yang tidak beretika, sementara negara hanya menjadi penonton yang tak berdaya. [Lins/OHF]