
Editorial—Donald Trump, mantan Presiden Amerika Serikat, telah lama dikenal sebagai pendukung kuat Israel. Kebijakannya selama menjabat, seperti pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pemindahan kedutaan AS ke kota tersebut, menunjukkan kesetiaannya pada agenda Zionis. Namun, ambisi Trump terhadap Gaza dan Palestina tidak berhenti di situ. Menurut laporan dari berbagai sumber media, termasuk Tribun News, Republika dan Kompas TV (10/3), Trump menolak proposal Mesir untuk membangun kembali Gaza. Proposal ini diajukan sebagai upaya untuk memulihkan kondisi kehidupan di Gaza setelah bertahun-tahun konflik dan blokade. Penolakan Trump ini dianggap sebagai bagian dari rencana yang lebih besar untuk menguasai Gaza dan menyerahkannya kepada Israel.
Fakta-fakta menunjukkan bahwa Trump memiliki agenda yang jelas mendukung ekspansi Israel dan mengabaikan hak-hak rakyat Palestina. Menurut The Guardian (2021), Trump bahkan mengeluarkan “Kesepakatan Abad Ini” (Deal of the Century) yang secara sepihak menguntungkan Israel dan mengabaikan tuntutan utama Palestina, seperti hak pengungsi dan status Yerusalem Timur. Ini adalah bukti nyata bahwa AS, di bawah kepemimpinan Trump, tidak hanya menjadi penjaga kepentingan Zionis, tetapi juga aktor utama dalam upaya penghancuran hak-hak rakyat Palestina.
Yang lebih memilukan adalah peran para pemimpin Muslim dalam skema ini terutama negara Mesir dan Yordania. Mesir, yang memiliki perbatasan langsung dengan Gaza, seharusnya menjadi pelindung utama rakyat Palestina. Namun, menurut laporan Al Jazeera (2021), Mesir justru bekerja sama dengan Israel dalam memblokade Gaza, membatasi pergerakan orang dan barang, serta mengisolasi wilayah tersebut. Yordania, yang memiliki populasi pengungsi Palestina terbesar di dunia, juga memilih untuk diam dan tidak mengambil tindakan tegas terhadap kebijakan AS dan Israel.
Pengkhianatan ini bukan hanya masalah politik, tetapi juga moral. Para pemimpin Muslim ini lebih memilih untuk tunduk pada tekanan AS dan sekutunya demi mempertahankan kekuasaan mereka. Akibatnya, rakyat Palestina terus menderita, sementara tanah mereka dirampas sedikit demi sedikit. Menurut Amnesty International (2023), blokade Gaza telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah, dengan tingkat pengangguran mencapai 50% dan akses terhadap air bersih yang sangat terbatas.
Sejarah telah membuktikan bahwa diplomasi internasional dan perundingan damai tidak membawa solusi nyata bagi Palestina. Kesepakatan Oslo (1993) dan berbagai inisiatif perdamaian lainnya hanya menjadi alat untuk melegitimasi penjajahan Israel. Menurut Middle East Eye (2022), Israel terus memperluas pemukiman ilegal di Tepi Barat, sementara Gaza tetap terkepung. Ini menunjukkan bahwa solusi sekuler dan diplomasi internasional telah gagal.
Solusi yang sesungguhnya, menurut banyak analis dan aktivis Islam, adalah melalui Jihad dan Khilafah. Jihad dalam konteks ini bukanlah tindakan terorisme, melainkan perjuangan suci untuk membela hak-hak rakyat Palestina dan mengusir penjajah dari tanah mereka. Jihad harus dilakukan dengan persatuan umat Islam di bawah satu kepemimpinan, yaitu Khilafah. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang akan memastikan bahwa umat Islam bersatu dan memiliki kekuatan untuk melawan ketidakadilan.
Menurut Islamic Human Rights Commission (2023), Khilafah tidak hanya akan membebaskan Palestina, tetapi juga mengembalikan martabat umat Islam yang telah diinjak-injak oleh penjajah dan pengkhianat. Dalam sistem Khilafah, tidak ada ruang bagi pengkhianatan atau kepentingan pribadi. Pemimpin Khilafah akan bertanggung jawab langsung kepada Allah dan rakyatnya, serta akan memastikan bahwa keadilan ditegakkan di seluruh penjuru dunia.
Untuk mewujudkan solusi ini, dibutuhkan partai politik Islam ideologis yang konsisten memperjuangkan tegaknya Khilafah. Partai ini akan mencerdaskan umat tentang hakikat persoalan Palestina dan membuka mata mereka terhadap kebusukan sistem sekuler yang selama ini mengkhianati perjuangan rakyat Palestina. Menurut The Muslim News (2023), partai politik Islam seperti Hizbut Tahrir telah aktif dalam membangun kesadaran umat tentang pentingnya Khilafah sebagai solusi tuntas bagi Palestina.
Partai politik Islam ideologis juga akan membangun kesadaran umat bahwa solusi Palestina tidak bisa dicapai dengan sekadar diplomasi atau bantuan kemanusiaan. Solusi sesungguhnya adalah dengan mengembalikan sistem Islam yang akan mempersatukan umat dan memberikan kekuatan untuk melawan penjajahan.
Ambisi Trump dan pengkhianatan para pemimpin Muslim adalah pukulan telak bagi umat Islam. Namun, ini juga menjadi momentum untuk bangkit dan memperjuangkan solusi yang sesungguhnya yakni Jihad dan Khilafah. Umat Islam harus menyadari bahwa selama mereka tetap terpecah-belah dan tunduk pada sistem sekuler, Palestina tidak akan pernah merdeka.
Kita tidak bisa lagi berharap pada pemimpin yang gemar berkhianat. Sudah saatnya umat muslim bergerak bersama, membangun kesadaran, dan memperjuangkan tegaknya Khilafah. Hanya dengan Khilafah, rakyat Palestina akan terbebas dari penjajahan, dan umat Islam akan kembali menjadi umat yang mulia dan disegani dunia. [Lins/OHF]