
Oleh: Sabikhisma
Linimasanews.id—Dunia pendidikan masih belum membaik dari sakitnya, bahkan semakin memperparah kondisinya. Bak penyakit yang menggerogoti dari dalam. Semakin banyak oknum-oknum penjahat seksual yang mengincar para murid didiknya sendiri. Miris, profesi yang sangat mulia ini justru disalahgunakan dan dijadikan kedok untuk bertindak asusila.
Seperti kasus yang menimpa siswa SD di Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pelajar dengan rentang usia 8 hingga 13 tahun menjadi korban pencabulan oleh oknum guru PJOK (Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan) di sekolahnya. Diketahui, para korban awalnya tidak berani melaporkan pelecehan tersebut kepada orang tua maupun kepala sekolah karena takut dengan ancaman dari pelaku yang akan mengurangi nilai mata pelajaran PJOK. Namun, kejadian ini mulai terendus ketika para korban saling bercerita satu sama lain (tirto.id, 6/3/25).
Kasus pelecehan seksual dalam lingkungan pendidikan semacam ini seolah menggunakan praktik hegemoni. Guru lebih berkuasa untuk mendominasikan alur pemikirannya terhadap siswanya. Terdapat tekanan batin, sehingga siswa takut untuk menceritakan kejadian tersebut kepada orang lain.
Baru-baru ini, kasus serupa pun terjadi di kalangan pondok pesantren. Lain halnya, kasus pelecehan dan penganiayaan ini terjadi antara santri terhadap santriwati di salah satu pondok pesantren di Desa Mekarsari, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Namun, nahas, peristiwa tersebut berujung pada tewasnya sang pelaku akibat saling bacok menggunakan sajam antara santri (detik.com, 7/3/25).
Sederet kasus pelecehan di dunia pendidikan tidak kunjung berhenti. Pelaku tindak asusila justru datang dari orang-orang sekitar. Bagaikan predator yang siap menerkam kapan saja dan kepada siapa saja. Mulai dari kalangan sesama siswa atau santri, hingga terjadi dari kalangan guru kepada siswa-siswanya.
Terus berulangnya kasus-kasus semacam ini tidak luput dari kurangnya moral dalam bermasyarakat, buah dari tontonan media liberal yang meracuni pemikiran penggunanya, lingkungan pergaulan, dan sistem pendidikan sekuler yang merasa bebas berbuat apa pun tanpa terikat dengan sebuah aturan pasti, termasuk aturan agama. Sehingga tidak bisa mewujudkan pribadi yang mulia.
Terlebih, negara dalam sistem sekuler kapitalisme sangat lemah dalam memperhatikan urusan rakyatnya, bahkan keamanan bagi rakyatnya pun tidak mampu diberikan oleh negara. Justru, negara menyediakan sarana-sarana yang bisa membangkitkan syahwat dan dibiarkan melenggang dengan bebasnya, demi keuntungan finansial yang akan diraih.
Akibatnya, masyarakat tidak lagi mampu berpikir benar atau salah dalam memandang kehidupan dan mencari solusi atas masalah-masalah mereka. Ketika gejolak nafsu bangkit, pandangan mereka hanya tertuju kepada objek yang mudah untuk dimanipulasi dan menjadi sasaran pemuas birahi. Na’udzubillahi min dzaalik.
Islam Mengatur dengan Sempurna
Islam tidak mengharamkan seseorang memiliki gharizah nau’ atau naluri melestarikan keturunan yang secara alami menumbuhkan rasa kasih sayang dan keinginan kuat untuk menjaga dan melindungi, termasuk bagaimana cara mengatur pemenuhan hawa nafsu dan syahwat. Karena hal tersebut secara fitrah memang dimiliki setiap manusia.
Adapun untuk penerapan aturan Islam, butuh setidaknya tiga hal, yakni keimanan yang kuat dari individu-individu keluarga muslim. Sekuat apa pun godaan hawa nafsu yang datang dari dalam maupun dari luar, jika setiap anggota keluarga muslim memiliki keimanan yang kuat, pasti akan saling menjaga kehormatan saudara-saudaranya agar semua senantiasa taat kepada Allah dan terhindar dari perbuatan dosa.
Yang kedua, kepedulian dari anggota masyarakat. Keimanan setiap individu bisa saja melemah, ini hal yang sangat manusiawi. Maka, dibutuhkan kontrol masyarakat untuk senantiasa berkesinambungan menjaga keimanan saat saling berinteraksi. Terlebih di kalangan pendidikan, baik di sekolah umum maupun di pesantren.
Begitu pula dengan tenaga pendidik seperti guru. Dalam bermasyarakat dan berinteraksi dengan murid-muridnya, sudah sepatutnya guru mengutamakan muruahnya sebagai sang pemberi ilmu. Bukan sebaliknya, guru justru merusak moralnya sendiri dengan menjadikan generasi penerus peradaban sebagai budak pemuas hawa nafsu.
Hal seperti ini yang telah diperingatkan Allah dalam firman-Nya,
*وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْض ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qasas: 77).
Dan ketiga, yang terpenting adalah dibutuhkan adanya negara yang menerapkan syariat Islam dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual. Karena dengan begitu, negara akan mengedukasi masyarakat agar selalu taat syariat. Edukasi yang diberikan juga akan melalui beberapa jalur. Seperti jalur pendidikan, pendidikan berbasis kurikulum akidah Islam yang diterapkan di semua jenjang sekolah, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.
Selanjutnya, melalui jalur dakwah. Tanggung jawab negara untuk menyadarkan umat agar bertobat, meninggalkan dosa, dan taat syariat. Dengan cara mengirimkan para dai dan daiah ke seluruh penjuru negeri untuk mendakwahkan Islam kepada seluruh lapisan masyarakat.
Tidak kalah penting, jalur media juga akan dipantau negara agar selalu mengajak kepada hal-hal yang bermanfaat, serta mengajak kepada kebaikan, menyebarkan konten-konten Islam yang sahih di tengah umat.
Selain itu, negara bisa menerapkan ketentuan syariat Islam dalam membasmi para predator anak. Negara akan memberikan dua sanksi berat sekaligus yang sesuai dengan syariat bagi para pelaku kekerasan seksual. Yakni, sanksi karena pelaku telah melakukan pemaksaan yang melukai farji (kemaluan) korban, dan sanksi karena pelaku telah berzina.
Abdurahman al-Maliky dalam kitab Nizhamul Uqubat fil Islam menjelaskan bahwa perlukaan terhadap farji termasuk perkara jinayah yang dikenakan sanksi berupa harta (diat). Akan tetapi, harus diperhatikan terlebih dahulu luka yang ditimbulkannya untuk menentukan entah sanksinya berupa setengah diat atau satu kali diat. Adapun satu kali diat adalah setara 100 ekor unta, sedangkan setengahnya adalah 50 ekor unta.
Sementara itu, sanksi karena melakukan zina adalah berupa had zina. Jika pelaku belum menikah (ghairu muhsan), hukumannya adalah cambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun.
Dengan adanya sanksi yang tegas, terlebih hukum-hukum tersebut datangnya dari Allah, maka niscaya akan membawa kemaslahatan bagi umat manusia di muka bumi. Dan semua itu akan terwujud tatkala Islam kembali diterapkan dalam naungan Khilafah Islamiah atas dasar minhaj kenabian. Sehingga kita semua bisa mendapatkan solusi tuntas atas perkara ini, dengan membuang jauh kapitalisme dari kehidupan kaum muslim dan kembali pada aturan sahih dari Allah Taala. Wallahualam bissawab.