
Oleh: Fatmawati (Aktivis Dakwah)
Linimasanews.id—Seperti anjing berebut tulang. Begitu mungkin gambaran paling pas bagi para pejabat tamak yang lahir dari didikan demokrasi kapitalisme. Hilang rasa kemanusiaan mereka. Tanpa rasa malu, berebut sumber daya yang bukan miliknya. Mereka menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya untuk memperkaya diri dan keluarga, tanpa peduli sedikit pun pada penderitaan yang dialami masyarakat.
Makin mencengangkan saja fakta-fakta kasus mega korupsi yang terungkap hari ini. Besaran angka kerugian negara yang ditimbulkannya tidak main-main. Misalnya, kasus korupsi tambang timah Rp 271T, impor gula Rp578 M, korupsi impor BBM diperkirakan hampir mencapai 1 quadriliun. Tentu saja masih banyak kasus korupsi lain yang tidak kalah meresahkan.
Diskusi para pengamat dan masyarakat secara luas telah sampai pada kesimpulan bahwa mafia-mafia korupsi di pemerintahan sudah terlalu kuat dan mengakar. Mereka membuat jejaring di dalam dan luar pemerintahan, serta melibatkan sangat banyak pihak sehingga ketika satu saja pihak dinyatakan menjadi tersangka atau terdakwa, maka banyak pihak lain yang juga akan terserat. Sebagai akibatnya, mereka saling menyandera dan menutupi korupsi yang telah dilakukan dan diamini secara berjamaah.
Sistem sekuler hari ini telah membuat manusia menjadi sangat serakah. Seorang pejabat dengan gaji bulanan yang besar pun tidak pernah merasa cukup. Makin mereka masuk ke dalam pemerintahan dan mendapatkan kekuasaan mengurus aspek-aspek strategis, makin mereka memanfaatkan kesempatan itu untuk meraup keuntungan pribadi, keluarga, dan golongannya.
Bagaimana tidak, pada kasus korupsi impor BBM, misalnya, Penyidik Kejaksaan Agung menemukan adanya kongkalikong antara pejabat di beberapa subholding Pertamina dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Kongkalikong itu berupa pemufakatan jahat dalam penyediaan minyak mentah (tempo.co, 4/3/2025).
Di mana negara yang seharusnya mengurusi rakyatnya? Tentu saja konsep itu tidak berlaku. Sebab, dalam demokrasi, sudah menjadi rahasia umum pejabat harus mengeluarkan modal yang sangat besar untuk mendapatkan jabatannya. Jual-beli jabatan terjadi pula dalam ranah hukum. Sebagai akibatnya, hukum pun tidak bertaring. Bahkan, hari ini telah terkenal slogan “no viral, no justice”. Bagi kapitalis, hukum bisa dibeli, pasal-pasal dalam undang-undang bisa dipesan ataupun dipelintir sesuka hati.
Sampai di sini kita memahami bahwa sistem demokrasi kapitalis meniscayakan korupsi. Tidak mungkin tidak, korupsi pasti terjadi jika sistem demokrasi yang diterapkan. Maka, jika ingin korupsi ini selesai dan tidak terjadi lagi, haruslah menerapkan sistem yang shahih, yakni sistem Islam.
Sistem Islam rinci mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dan membawa kebaikan untuk manusia. Bukan hanya bagi muslim, tetapi juga non-muslim, bahkan lingkungan. Sistem pemerintahan Islam memberikan kekuasaan kepada masyarakat yang diwakilkan kepada khalifah. Namun, kekuasaan itu dibatasi oleh kedaulatan yang ada di tangan Allah Swt., Sang Pencipta manusia dan seluruh alam.
Islam melarang keras seorang muslim untuk berkhianat. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Anfal ayat 8, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian, padahal kalian tahu.”
Karenanya, sistem pendidikan Islam mencetak manusia-manusia yang bertakwa kepada Allah. Manusia-manusia yang memiliki ketakwaan ini, ketika menjadi pemimpin, mereka akan amanah. Ketika mereka menjadi masyarakat yang dipimpin, mereka akan melakukan fungsi kontrol dan memberikan nasihat.
Selain itu, sistem sanksi Islam bersifat tegas dan tidak bisa sembarangan diubah. Ketegasan ini akan menjadikan manusia penuh pertimbangan sebelum melakukan kezaliman kepada manusia lain. Dengan begitu, korupsi bisa dicegah dan diatasi.