
Oleh: Dian Mayasari, S.T.
Linimasanews.id—Dalam sistem demokrasi kapitalisme yang mendominasi dunia saat ini, manusia dijadikan sebagai sumber aturan. Hukum ditetapkan berdasarkan akal dan kepentingan manusia yang pada dasarnya lemah dan terbatas. Akibatnya, banyak terjadi pertentangan dalam hukum dan kebijakan yang dihasilkan. Sistem ini telah melahirkan berbagai permasalahan, mulai dari ketidakadilan hingga krisis moral yang terus berulang.
Sebaliknya, Islam telah menetapkan bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya pedoman hidup bagi individu, masyarakat, dan negara. Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci yang dibaca dan dihapalkan, melainkan sumber hukum yang seharusnya menjadi dasar dalam mengatur kehidupan.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’ [17]: 9)
Namun, ironisnya, di era modern ini, individu yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan menyerukan penerapannya dalam kehidupan, justru sering dicap radikal. Padahal, Islam telah menegaskan bahwa hukum Allah adalah yang paling sempurna dan adil. Allah berfirman, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Ma’idah [5]: 50)
Dalam sistem demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Manusia berhak membuat hukum sesuai dengan kehendak dan kepentingannya yang sering kali dipengaruhi oleh hawa nafsu dan tekanan kelompok tertentu. Akibatnya, hukum yang dihasilkan tidak memiliki standar yang tetap dan terus berubah mengikuti dinamika politik dan ekonomi.
Hal ini sangat berbeda dengan Islam, yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang bersifat tetap, adil, dan membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Seorang Muslim sejatinya harus berpegang teguh pada Al-Qur’an sebagai bentuk keimanan. Islam tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual, tetapi juga kehidupan sosial, ekonomi, hukum, dan politik.
Jika umat ingin membangun peradaban yang mulia, maka Al-Qur’an harus dijadikan asas kehidupan. Allah telah mengingatkan, “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl [16]: 89)
Namun, realitasnya, meskipun peringatan Nuzulul Qur’an dirayakan setiap tahun, baik oleh individu maupun negara, penerapan nilai-nilainya dalam kehidupan justru diabaikan. Oleh karena itu, umat Islam harus menyadari bahwa berpegang pada Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kewajiban. Tidak cukup hanya mengamalkan ajarannya dalam kehidupan pribadi, tetapi juga harus diperjuangkan agar menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Allah telah memperingatkan agar tidak hanya mengambil sebagian ajaran-Nya dan meninggalkan yang lain. “Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu, melainkan kehinaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang sangat berat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 85)
Kesadaran ini tidak akan muncul dengan sendirinya, tetapi harus dibangun melalui dakwah yang dilakukan secara ideologis oleh jamaah dakwah yang memiliki visi jelas dalam memperjuangkan Islam. Dakwah ini harus terus dilakukan agar umat memahami pentingnya menerapkan Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman utama, kehidupan yang adil, sejahtera, dan diridhai oleh Allah dapat terwujud. Sebagaimana Allah telah berjanji, “Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka ia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.” (QS. Taha [20]: 123)