
Oleh: Lailin Nurul
(Aktivis Mahasiswa)
Linimasanews.id—Langit Gaza terlalu banyak menyimpan luka dari jeritan anak-anak yang merindukan keluarganya. Sementara bumi, merekam aliran darah yang terus membasahi wilayah tandus yang kini tak bersisa. Anak-anak yang seharusnya tumbuh dengan tersenyum membawa buku, justru dibesarkan dengan kobaran genosida dan hujan peluru. Mereka, anak Gaza tak di lahirkan hanya untuk diam, dan Kita sebagai kaum muslim, tidak diciptakan untuk lalai dan bungkam.
Dilansir oleh UNICEF (2024), lebih dari satu juta anak Gaza hidup penuh dengan keterbatasan. Mereka bekerja keras hanya untuk mencari air bersih, makanan layak, bahkan mereka mecari tempat sunyi untuk tidur di tengah dentuman senjata yang bisa menghanguskan mereka kapan pun. Mereka berlarian menyelamatkan diri ketika bangun, ibu yang memeluk anaknya, dan ayah yang mencari perlindungan layak untuk keluarganya. Rumah sakit di Jalur Gaza, bukan lagi tempat untuk menyembuhkan luka. BBC News melaporkan pada bulan Januari 2024 silam bahwa lebih dari 50% rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya lumpuh total.
Padahal, mereka yang merasa mampu mengatur bumi dengan hukum manusia telah menetapkan pada Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I tahun 1977 bahwa serangan terhadap fasilitas medis termasuk di dalamnya tenaga kesehatan yang tidak terlibat langsung dalam permusuhan merupakan pelanggaran hukum internasional. Berlaku sama dengan jurnalis yang melaporkan dari zona konflik. Jurnalis dianggap sebagai warga sipil dan dilindungi oleh hukum humaniter internasional. Penyerangan terhadap mereka dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Apa yang dilakukan oleh Zionis Yahudi bukan sekadar kejahatan perang atau pelanggaran internasional, tetapi mereka melakukan pembasmian dan genosida dengan cara yang melebihi naluri hewan.
Maka, narasi bahwa kita tidak bisa berbuat apa-apa adalah propaganda untuk menutupi kebungkaman kita sebagai manusia yang bernaluri. Banyak hal yang bisa dilakukan, bahkan tidak sulit untuk menggugat kejahatan yang telah nyata buktinya. Namun, dunia memilih diam, mereka hanya menyatakan keberpihakan dalam pidato yang melambangkan kelemahan sebagai sebuah otoritas negara.
Banyak negara yang mengecam Zionis penjajah, tetapi tidak sedikit juga negara yang menyambung kerjasama lebih erat dengan Zionis. Penjajahan ini bukan hanya perwujudan luka geografis yang direbut wilayahnya, melainkan cerminan bahwa dunia seolah menentang keadilan jika korbannya merupakan umat muslim. Negara-negara yang resmi menyatakan keberpihakannya kepada Palestina, nyatanya tidak berbuat banyak pada Israel. Seolah pernyataan tegas negara-negara itu, hanya sebagai bukti bahwa mereka masih manusia dan mendukung pendapat mayoritas.
Fenomena ini memberikan kita penegasan baru bahwa nasionalisme memberikan sekat yang besar pada fitrah ummat kepada ummat yang lain. Pendapat bahwa mereka hanya bisa membatu dari sosmed, hanya bisa memberikan bantuan logistik, hanya bisa memberikan do’a, adalah pernyataan muslim yang lemah dengan akidahnya.
Ummat Islam memiliki fitrah kuat terhadap ukhuwah, terlalaikan oleh narasi yang mencukupkan perjuangan hanya sebatas permukaan. Umat Islam telah lupa jika Islam memiliki konsep jihad yang sesungguhnya. Islam seharusnya memberikan ruang aman dan ruang lindung yang layak terhadap wilayah-wilayah yang terancam. Hal ini dapat direalisasikan jika kaum muslim mengembalikan makna persatuan sebagaimana ketika zaman Rasulullah. Kemudian, kaum muslim menerapkan kembali hukum yang pernah Rasulullah terapkan dalam mewujudkan negara yang berkah dengan tatanan hukum Islam.
Kita tidak boleh buta bahwa negara Islam pernah mempertahankan tanah Palestina sedemikian hebatnya. Jika kita kembali pada masa di mana negara Islam berdiri tegak sebagai adidaya, kita bisa melihat kembali kisah Shalahuddin Al-Ayyubi yang membebaskan tanah suci Palestina dalam perang panjang. Bahkan tanah yang diperjuangkan dengan sedemikian rupa tetap dipertahankan oleh Sultan Abdul Hamid II. Ketika Theodor Herzl hendak menawarkan harta yang dapat melunasi seluruh utang negara bahkan memberikan jaminan pembangunan, sultan tetap menolak dengan tegas bahwa tanah Palestina adalah milik umat yang tidak bisa dibeli dengan harga apa pun.
Perjuangan besar dalam membela Palestina tidak boleh berhenti pada generasi kita. Sebagai umat Islam yang sama, dengan panduan hukum Al-Qur’an yang mutlak, seharusnya perjuangan kita dalam membela Palestina sama imbangnya. Palestina tidak dapat dibebaskan hanya dengan perjanjian ataupun pembagian wilayah. Makhluk licik seperti zionis Israel tidak dapat memahami bahasa manusia dalam perjanjian maupun gencatan senjata. Berbagai perjanjian yang dilakukan muali dari Perjanjian Oslo II (1995), Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan, Piagam PBB dan Resolusi Majelis Umum, Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dan berbagai banyak lagi perjanjian gencatan senjata bersama Palestina. Bukti sudah kuat, jika bahasa yang dikenal Zionis Yahudi hanyalah perang. Maka, kehadiran negara Islam dalam pembebasan tanah Al-Aqsa akan sangat ditunggu untuk memberikan perlawanan yang setimpal dengan yang dilakukan Israel terhdap Palestina.
Peran besar kita saat ini adalah untuk mewujudkan perlawanan selayak-layaknya dengan menghadirkan kembali negara Islam yang menerapkan prinsip sebagaimana perjuangan Nabi saw. Dakwah yang kita lakukan adalah dakwah yang pernah dilakukan ketika hendak menjadikan Madinah sebagai negara Islam. Kita juga wajib menjadi bagian terbaik pejuangnya. Allahu Akbar.