
Oleh: Nafeesa Taqiya
Linimasanews id—Di tengah meningkatnya angka kriminalitas, khususnya jelang momen lebaran, negara justru memberikan remisi khusus tahunan kepada para 157.953 narapidana termasuk napi koruptor. Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, mengemukakan beberapa alasan yang menjadi dalih remisi ini. Pertama, sebagai bentuk penghormatan terhadap hak warga binaan dalam rangka merayakan Hari Raya Nyepi dan Idul Fitri 2025 serta mendorong mereka untuk memperbaiki diri selama menjalani hukuman. Kedua, menghemat anggaran negara yang dialokasikan untuk kebutuhan makan narapidana hingga 81.264.930.000 atau sekitar Rp81 miliar. Ketiga, persoalan kelebihan penghuni dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan (tempo.co, 29/3/25).
Sungguh Ironis. Kebijakan pemberian remisi ini diberikan negara dalam kondisi maraknya kejahatan di negeri ini, bahkan banyak di antaranya adalah kejahatan berulang. Global Initiative Against Transnational Organized Crime mencatat dalam laporannya bertajuk The Global Organized Crime Index 2023 bahwa angka kriminalitas indonesia merupakan yang kedua tertinggi di ASEAN setelah Myanmar (ocindex.ne). Di awal tahun 2025 saja, hingga 21 Januari 2025, sudah terdapat 24.327 perkara kriminalitas yang ditindak oleh polisi, mulai dari pencurian, penganiayaan, narkotika, hingga pengeroyokan (goodstats.id, 3/4/2025).
Pemberian remisi adalah indikasi nyata lemahnya sistem sanksi dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Dengan dalih penghematan anggaran, negara tak sungkan mengorbankan keamanan rakyatnya dan membiarkan mereka hidup dalam rasa ketakutan karena semakin suburnya berbagai bentuk kejahatan dan kriminalitas. Negara telah gagal memberikan jaminan rasa aman dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya.
Dalam Islam, keamanan adalah kebutuhan kolektif mendasar rakyat, sebagaimana halnya pendidikan dan kesehatan, yang wajib dipenuhi oleh negara. Hukum pidana di dalam Islam meliputi hadd (sanksi-sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh Allah SWT, sekaligus menjadi hak Allah SWT), jinayat (sanksi atas penganiayaan terhadap badan, yang mewajibkan qishash/balasan setimpal atau diyat/denda), dan ta’zir (sanksi yang bentuknya tidak ditetapkan secara spesifik oleh Allah SWT). Semuanya ditegakkan secara konsisten tanpa diskriminasi, tidak dapat ditawar atau dipermainkan demi kepentingan tertentu sebagaimana yang banyak terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini.
Dalam hal penegakan hukum, Rasulullah saw. telah memberikan teladan bagaimana seharusnya seorang pemimpin bersikap dalam menegakkan keadilan hukum tanpa pandang bulu. Aisyah ra. menceritakan: Sungguh orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan wanita dari Bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, “Siapa yang bisa melobi Rasulullah saw.?” Mereka menjawab, “Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh Rasulullah saw.” Usamah pun melobi Rasulullah saw.
Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Apakah engkau akan memberi pertolongan berkaitan dengan hukum Allah?” Beliau lalu berdiri dan berkhutbah, “Wahai manusia, sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan. Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Ketegasan hukum tanpa diskriminasi bagi para pelaku kejahatan memberikan edukasi pada seluruh lapisan masyarakat baik pejabat maupun rakyat kecil untuk senantiasa berperilaku taat hukum, sekaligus memberikan jaminan keadilan, keamanan, dan keberlangsungan hidup bagi seluruh warga negara. Hal ini bisa berjalan efektif jika diiringi dengan penegakkan syariat Islam secara menyeluruh dalam sendi-sendi kehidupan yang menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai pengikat interaksi di tengah masyarakat.
Keimanan dan ketakwaan ini menjadi kontrol individu dalam menghindari kemaksiatan sekaligus pendorong mereka untuk bertaubat dan secara sadar mengakui kesalahan di hadapan hukum sebab keyakinan mereka bahwa segala amal perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak. Adanya hukuman di dunia yang ditegakkan negara terhadap pelaku tindak kejahatan akan meringankan siksa mereka di akhirat.
Keistimewaan sistem sanksi dalam Islam adalah bahwa ia memiliki dua sifat, yakni pertama sebagai jawabir atau penebus dosa; kedua, sebagai zawajir atau pencegah kejahatan, sehingga tidak hanya memberikan efek jera yang nyata namun juga mampu menangani akar permasalahan secara menyeluruh. Sistem sanksi dalam Islam juga lebih praktis dibanding sistem sanksi dalam sistem kapitalisme. Penjara tidak menjadi alternatif hukuman yang utama.
Ada berbagai sanksi lain yang mungkin diberikan, seperti potong tangan, cambuk, rajam, hingga hukuman mati. Hal ini tidak hanya menekan angka kriminalitas karena setimpalnya sanksi yang diberikan tapi juga menyelamatkan penjara dari problem kelebihan kapasitas. Disebutkan dalam al-Baqarah ayat 179, yang artinya: “Dalam qishash itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal agar kamu bertakwa”.
Dengan adanya ancaman hukum yang berat dan contoh eksekusi hukum yang menjerakan bagi para pelaku kriminalitas, masyarakat akan lebih berhati-hati dalam berbagai urusan yang terkait nyawa dan pelanggaran hukum. Begitulah, sistem sanksi Islam disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Ia tidak hanya didesain memberikan sanksi ketika kejahatan terjadi, tapi bertindak menutup berbagai pintu-pintu yang menjadi peluang kejahatan (preventif). Wallahu alam.