
Editorial—Daya beli masyarakat Indonesia terus merosot, terlihat dari laporan sejumlah media pascalebaran 2025. Pedagang di Tanah Abang mengeluh penjualan lesu sektor pariwisata melemah, dan utang paylater masyarakat di perbankan mencapai Rp21,98 triliun. Fenomena ini bukan sekadar persoalan ekonomi siklus, melainkan buah dari sistem kapitalisme sekuler yang memelihara ketimpangan dan budaya konsumtif.
Penurunan daya beli dipicu oleh banyak faktor: PHK massal, inflasi, beban utang, dan lesunya ekonomi global. Namun, akar masalahnya adalah kebijakan ekonomi yang tunduk pada mekanisme pasar bebas dan akumulasi kapital di segelintir elit. Pemerintah gagal melindungi rakyat dari kenaikan harga sembako, tarif listrik, dan kebutuhan pokok lainnya. Alih-alih memperkuat produksi dalam negeri, kebijakan impor dan liberalisasi justru mematikan usaha lokal.
Daya Beli Jeblok: Akumulasi Krisis Kapitalistik
Dalam himpitan ekonomi, masyarakat terjebak pada paylater sebagai “jalan pintas” memenuhi kebutuhan. Teknologi finansial ini dikemas sebagai kemudahan, padahal ia adalah jerat riba modern. Data OJK menunjukkan utang paylater tembus Rp21,98 triliun—bukti bahwa masyarakat dibius oleh kemudahan berutang, tanpa sadar terjerat bunga yang mencekik.
Paylater bukan solusi, melainkan alat kapitalisme untuk memperpanjang budaya konsumerisme. Dalam sistem sekuler, kebahagiaan diukur dari kepemilikan materi, dan paylater menjadi katalisatornya. Masyarakat didorong untuk terus mengonsumsi, meski harus berutang—sebuah siklus yang menguntungkan korporasi, tetapi membebani rakyat.
Kapitalisme menciptakan masyarakat yang materialistik. Iklan, lifestyle, dan gaya hidup hedonis dipromosikan sebagai standar kebahagiaan. Akibatnya, masyarakat bekerja bukan untuk mencukupi kebutuhan, tetapi untuk memuaskan keinginan yang tak pernah habis. Paylater hadir sebagai “penyelamat” semu, tetapi pada akhirnya memperdalam ketergantungan pada utang ribawi—yang jelas haram dalam Islam.
Islam Solusi Fundamental
Islam memandang ekonomi sebagai bagian dari pengaturan hidup yang terintegrasi dengan nilai ketakwaan. Dalam sistem Islam:
1. Konsumerisme dicegah melalui pembinaan iman, di mana kebahagiaan bukan dari materi, tetapi dari ridha Allah SWT.
2. Riba dihapuskan total, termasuk praktik paylater berbasis bunga. Sistem pemerintahan Khilafah menurut Islam akan menyediakan mekanisme pembiayaan halal seperti qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga) bagi yang membutuhkan sebagaimana kewajiban sesuai syariat Islam.
3. Kesejahteraan dijamin melalui kebijakan berbasis syariah, pengelolaan kepemilikan umum (minyak, tambang, listrik) untuk kemaslahatan rakyat, zakat sebagai jaring pengaman sosial, dan penciptaan lapangan kerja yang adil.
Penerapan Islam kaffah dalam naungan Khilafah menjadi solusi yang layak untuk menjadi pertimbangan, sebab masalah daya beli, utang, dan konsumerisme bisa diatasi secara tuntas. Negara berbasis kedaulatan yang berdasarkan syariat Islam menjamin kebutuhan pokok rakyat, mengontrol harga, dan memutus rantai riba. Ekonomi tidak lagi dieksploitasi untuk keuntungan segelintir orang, tetapi dikelola untuk kemakmuran bersama.
Masyarakat harus sadar: selama kapitalisme sekuler bercokol, jerat paylater dan konsumerisme akan terus berkelindan, memperparah penderitaan rakyat. Hanya dengan kembali kepada sistem Islam, kesejahteraan hakiki bisa terwujud. Wallahu a’lam bish-shawab. [OHF]