
Oleh: Ummu Fadhil
Linimasanews.id—Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih menjadi polemik. Banyak penolakan dilakukan baik melalui diskusi publik secara luring maupun di sosial media seperti petisi daring yang berjudul “Tolak Kembalinya Dwifungsi melalui Revisi UU TNI.” Sejak diunggah pada Minggu (16/03) hingga Selasa (18/03) pukul 04.55 WIB, petisi telah ditandatangani 12.336 orang. Namun, DPR RI tetap mengesahkan RUU TNI menjadi undang-undang pada Kamis (20/03). Demo penolakan UU TNI telah digelar di lebih dari 50 kota di seluruh Indonesia (bbc.com 18/03/25).
Revisi UU TNI dan Implikasinya
Terdapat tiga pasal pada revisi UU TNI yang dinilai kontroversial yakni adanya tugas baru selain perang, perwira TNI aktif dapat menjabat di 16 kementerian/lembaga, ketentuan usia pensiun mengalami perpanjangan. Menurut Dimas Bagus selaku Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), menilai Revisi UU TNI berisiko mengganggu profesionalisme TNI yakni terlalu terlibat dalam ranah sipil dan mempersempit tugas dan fungsi lembaga-lembaga sipil atau aparat penegak hukum lain. Selain itu, dapat mengembalikan peran ganda militer atau Dwifungsi ABRI seperti masa Orde Baru. Seperti saat melakukan pengamanan aset vital dan proyek strategis nasional sering terjadi bentrokan, kekerasan, hingga pelanggaran HAM. Apalagi ketika revisi UU TNI disahkan akan memperbesar potensi terjadinya hal tersebut dan semakin merugikan masyarakat. Revisi UU TNI akan makin melemahkan prinsip demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi supremasi sipil (umj.ac.id 19/03/25).
Demokrasi Kapitalisme dan Dominasi Militer
Demokrasi menjadi salah satu sistem pemerintahan yang paling banyak diminati saat ini sebab sistem ini kerapkali menjanjikan supremasi sipil atas militer. Namun, sipil dibuat tak berdaya sebab realitanya menunjukkan bahwa oligarki politik dan ekonomi justru memiliki pengaruh yang lebih besar dalam menentukan arah kebijakan negara. Adapun militer itu sendiri kerap digunakan sebagai alat untuk menjaga hegemoni kekuasaan oligarki atas masyarakat umum, sehingga militer yang mestinya menjaga negara dari ancaman eksternal malah berubah wujud menjadi ancaman bagi internal masyarakatnya sendiri.
Mirisnya pergeseran peran militer dalam sistem kapitalisme bukanlah fenomena yang baru. Demokrasi kapitalisme memang memberikan ruang bagi kepentingan elite untuk memanfaatkan militer sebagai alat kontrol politik. Sebab kedaulatan ada di tangan segelintir pihak. Maka pihak yang berkuasa sangat leluasa “memainkan” hukum demi kepentingan kekuasaannya. Sejarah mencatat bahwa di berbagai negara kapitalis, militer seringkali dilibatkan dalam dinamika politik domestik, baik melalui kebijakan formal maupun praktik informal yang memperkuat posisi mereka dalam pemerintahan.
Revisi UU TNI ini menjadi bukti bahwa pemerintahan sipil nyatanya tidak sepenuhnya mampu membatasi pengaruh militer. Kondisi ini ironisnya justru dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri, di mana kebebasan sipil makin terancam dan kontrol terhadap pemerintahan menjadi lebih tersentralisasi di tangan segelintir elite yang memiliki akses terhadap kekuatan militer.
Militer dan Kekuasaan Dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, militer tidak boleh digunakan sebagai alat politik kekuasaan. Militer memiliki fungsi yang esensial sebagai garda terdepan pertahanan negara. Di mana pertahanan negara adalah segala usaha untuk menyebarluaskan dakwah dan jihad, kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dan negara dari ancaman dan gangguan pihak luar. Militer diamanahkan oleh syarak bukan untuk terlibat dalam pemerintahan sipil, apalagi menjadi ancaman teror bagi internal masyarakatnya sendiri.
Di dalam Islam, kekuasaan seharusnya diperoleh melalui jalan umat bukan diperoleh dengan ancaman senjata dan kekuasaan itu sendiri harus tunduk pada hukum Allah. Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” (HR Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa pemimpin dalam Islam harus mengutamakan kepentingan umat, bukan mempertahankan kekuasaan dengan cara otoriter melalui dominasi militer. Dalam realisasinya, khalifah sebagai pemimpin tertinggi negara dipilih berdasarkan baiat yang dilakukan atas dasar ridho (sukarela) wal ikhtiyar (pilihan) dan menjalankan pemerintahan sesuai dengan hukum syariat. Hukum syariat itu sendiri tidak memberi celah bagi dominasi militer dalam pemerintahan karena hukum syariat dibuat berdasarkan wahyu dari Allah Swt, bukan dibuat oleh penguasa atas dasar kepentingan pribadi elite politik atau ekonomi. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi militer untuk menjadi alat politik sebagaimana yang terjadi dalam sistem demokrasi kapitalisme.
Untuk itu, umat harus menyadari bahwa solusi bagi permasalahan ini tidak cukup berhenti pada kritik kebijakan saja apalagi kritik kepada person penguasa saja, namun harus ada solusi fundamental yang bersifat sistematis. Sebab, akar masalahnya ada pada sistem itu sendiri bukan sekedar person si penguasa. Allah Swt. berfirman, “Barang siapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ma’idah: 45)
Wallahualam bi shawab.