
Oleh: Weny Zulaiha Nasution, S.Kep., Ners.
Linimasanews.—Apakah anak Anda atau bahkan Anda sendiri pernah memakan jajanan marshmallow? Mulai sekarang perlu berhati-hati karena ada 9 produk mengandung babi, 7 di antaranya berlabel halal.
Jajanan mengandung babi tersebut ditemukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Unsur babi ditemukan melalui pengujian laboratorium untuk parameter uji DNA. Hasilnya ditemukan 11 (Sebelas) batch produk dari 9 (Sembilan) produk pangan olahan yang mengandung unsur babi atau porcine (Detik.com, 22/04/2025).
Jika dilihat dari kemasannya dan bentuknya yang menarik serta rasanya yang manis, tentu saja anak-anak akan mudah tertarik untuk membeli produk-produk tersebut. Padahal, selain produk tersebut tidak halal, kandungan dalam jajanan tersebut juga berisiko terhadap kesehatan. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran orang tua, khususnya yang muslim. Sebab faktanya, produk tersebut masih dijual bebas di berbagai gerai swalayan maupun platform jual beli online. Bahkan penjualan produk tersebut telah mencapai puluhan ribu. Seperti dikutip dari Tempo.co (22/04/2025), di salah satu gerai e-commerce di Jakarta Utara, satu jenis produk tercatat telah terjual 70 ribu kali.
Beginilah faktanya hidup di sistem yang sangat jauh dari aturan Islam. Perkara urusan perut pun, umat Islam sulit mendapatkan makanan yang halal, apalagi thoyyib. Meski telah ada upaya untuk melakukan sertifikasi produk halal, munculnya berita terbaru tentang produk jajanan yang ternyata mengandung babi, makin menambah ketidakpercayaan, publik meragukan berbagai makanan yang beredar di pasaran.
Hal ini menandakan umat berada dalam sistem sekuler yang tidak memikirkan perkara halal atau haram. Bagi penjual ataupun produsen, yang penting produknya bisa terjual laris, bisnisnya lancar dan selalu dicari konsumen. Terkait halal dan haram, dikembalikan kepada masing-masing individu yang menilainya. Tentu pemikiran seperti ini sangat berbahaya. Inilah bahaya jika umat Islam tetap bertahan dalam sistem sekuler ini. Sebab, menjaga kehalalan makanan yang dikonsumsi adalah suatu kewajiban bagi seorang muslim dan dosa besar bagi yang memakan makanan haram.
Di sisi lain, pemerintah sangat menggenjot para pelaku usaha produk makanan untuk mendaftarkan sertifikasi halal. Tetapi pada faktanya, minim upaya penjagaan atas produk non-halal di tengah masyarakat. Masih saja ada produk non-halal yang berlabel halal. Bukankah dalam Islam disyari’atkan menjaga kehalalan makanan dan sudah menjadi tugas penguasa untuk menjaga masyarakat dan menjamin agar terhindar dari segala produk haram?
Namun, sekali lagi disayangkan, sistem negara yang diadopsi masih kapitalisme sekularisme yang diambil dari Barat yang sangat bertentangan dengan Islam. Di dalam sistem ini, diterapkan ekonomi liberal kapitalistik yang menimbang berbagai perkara, termasuk sertifikasi halal dengan timbangan untung dan rugi, bukan halal dan haram. Tentu saja, akibat sistem ini ialah tidak akan mampu menjaga masyarakat dari banjirnya produk makanan non-halal, seperti saat ini.
Di samping itu, upaya sertifikasi halal pun berpeluang dijadikan tren bisnis, mengingat adanya nominal biaya. Dikutip dari Kompas.com (16/03/2022), nominal biaya yang diberikan untuk permohonan sertifikat halal (reguler), yaitu usaha mikro dan kecil sebesar Rp300.000, usaha menengah Rp5 juta, dan usaha besar atau berasal dari luar negeri Rp12,5 juta. Jika dibebankan biaya seperti ini, maka rakyat yang akan dirugikan.
Islam Melindungi Umat
Islam sebagai agama yang sempurna akan selalu melindungi kepentingan rakyat, termasuk salah satunya jaminan makanan halal. Negara Islam (khilafah) akan menerapkan syari’at Islam secara menyeluruh, termasuk memastikan semua makanan yang dikonsumsi masyarakat adalah halal. Semua ini karena landasan negaranya adalah akidah Islam, bukan asas manfaat. Dengan begitu, jaminan pangan halal adalah perkara yang wajib dilakukan oleh khilafah.
Di sisi lain, sistem pendidikan Islam mengajarkan hukum Islam sejak dini, termasuk soal pentingnya memproduksi dan mengonsumsi produk halal hingga cara mendapatkannya sehingga bisa membedakan yang mana halal dan haram. Seperti firman Allah SWT yang artinya, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 168).
Negara juga membuat regulasi dan pengawasan ketat serta memberikan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melanggar ketentuan. Apabila ada bahan makanan baru, Islam menyerahkan pada mujtahid untuk menggali hukumnya agar umat Islam tidak bingung dalam menentukan sikap.
Selain itu, dengan penerapan hukum Islam secara menyeluruh, negara akan menjamin makanan yang beredar di masyarakat dipastikan halal sehingga umat pun pada akhirnya tidak memerlukan sertifikasi halal dan tentunya merasa aman. Begitulah luar biasanya Islam dalam menjamin dan menjaga kepentingan rakyat. Tentu saja kebijakan ini akan terlaksana jika sistem Islam secara menyeluruh diterapkan dalam kehidupan.