
Oleh: Yuyun Yasmine
Linimasanews.id—Masyarakat dihebohkan dengan viralnya makanan yang menggunakan babi tetapi bersertifikat halal. Berita tersebut disampaikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang merilis temuan 9 produk makanan mengandung unsur babi, 7 di antaranya sudah memiliki sertifikat halal (Trimbunjateng.com, 25/4/2025).
Hal ini memicu keraguan masyarakat, benarkah sertifikasi halal menjamin pangan halal? Padahal, sebagaimana diketahui, makanan dan minuman halal adalah perkara penting bagi kaum muslim karena merupakan wujud ketaatan kepada Allah Swt. Sebaliknya, mengonsumsi makanan yang haram adalah bentuk maksiat. Sahabat Sahl ra. berkata, “Siapa saja yang makan makanan yang haram, maka bermaksiatlah anggota tubuhnya, mau tidak mau.” (Lihat: Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid 2, hlm. 91).
Kehalalan itu mencakup pemilihan bahan hingga proses pembuatan. Semua harus dipastikan tidak ada unsur yang diharamkan. Mirisnya, meskipun negara telah mengatur sertifikasi halal, sistem yang berjalan belum mampu memberikan perlindungan menyeluruh. Hal ini karena negara menganut sistem demokrasi-kapitalis yang berasaskan sekularisme, yaitu memisahkan agama dari kehidupan.
Dalam sistem ini, orientasi sebagian produsen lebih bersifat komersial daripada spiritual. Dalam sistem kapitalis, tujuan produksi berorientasi pada keuntungan materi semata. Prinsip dasarnya, mengeluarkan modal sekecil mungkin untuk mendapat keuntungan sebesar mungkin. Karena itu, soal halal dan haram sering terabaikan dan bukan menjadi tujuan utama. Akibatnya, hak konsumen muslim untuk mendapatkan produk halal tidak terjamin.
Negara kapitalis terbukti gagal memberikan jaminan penuh terhadap kehalalan produk makanan. Karena itu, diperlukan upaya serius dari negara untuk mengusut tuntas persoalan ini, memperbaiki regulasi sertifikasi halal, dan memastikan kejadian serupa tidak terulang kembali. Sebab, negara juga berperan menjaga agama. Rasulullah saw. bersabda,
“Pemimpin masyarakat adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem Islam, negara menjamin seluruh produk makanan yang beredar benar-benar halal dan thayyib. Adapun terkait sertifikasi halal, ini masalah teknis yang hadir sebagai respons terhadap kebutuhan pasar dan regulasi global. Jika saja aturan/hukum Islam diterapkan oleh negara secara menyeluruh (kaffah) dan tidak menerapkan hukum lain selainnya, maka seluruh sistem produksi, distribusi, pengawasan, dan sanksi akan secara otomatis terarah dan terkondisi untuk menjamin kehalalan produk.
Karena itu, negara harus menjalankan perannya sebagai pelindung akidah umat Dengan menerapkan syariat. Dengan begitu, jaminan terhadap kehalalan bukan lagi sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Hanya saja, ketika hari ini diterapkan sistem kapitalis-sekuler, bukan syariat Islam, lantas apa yang harus dilakukan kaum muslim?
Umat Islam harus memiliki daya kritis dalam mencari mana saja produk yang benar-benar halal dengan mengecek komposisi dan mengetahui istilah-istilah zat yang terkandung dalam produk makanan. Sebab, fakta hari ini sertifikat halal saja tidak menjadi jaminan.
Namun demikian, cara ini masih belum cukup. Sebab, solusi sebenarnya adalah penerapan Islam secara kafah. Karena itu, tugas umat Islam saat ini, yaitu berjuang menyerukan penerapan syariat Islam secara sempurna dengan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah. Caranya, dengan mengikuti metode dakwah Rasulullah saw. yang mendakwahkan Islam di Makkah, hingga membangun sistem pemerintahan Islam di Madinah. Untuk itu, umat Islam harus melakukan dakwah guna membangun kesadaran umat dan menyeru kepada kebangkitan, yakni kembali melanjutkan kehidupan Islam.